Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaKabupaten MimikaNasionalPeristiwaPolkam

Harmoni yang Diciptakan, Bukan Ditemukan: Refleksi dari Mimika di Kota Toleran 2025

191
×

Harmoni yang Diciptakan, Bukan Ditemukan: Refleksi dari Mimika di Kota Toleran 2025

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

SINGKAWANG |LINTASTIMOR.ID) — Di tengah barisan kota-kota yang berlomba menata keberagaman, Mimika datang bukan sebagai contoh yang dihafalkan dari buku panduan, melainkan sebagai kisah yang tumbuh dari rapuhnya perjumpaan, lalu menjadi kekuatan. Itulah narasi yang dibawa Bupati Mimika dalam Konferensi Kota Toleran (KKT) 2025 di Singkawang, Minggu (16/11/2025).

Di forum yang mempertemukan para kepala daerah dari berbagai penjuru Indonesia ini, ia tidak berbicara dengan bahasa teknokratis. Yang muncul adalah suara seorang pemimpin yang melihat pluralisme bukan sebagai program, tetapi sebagai denyut nadi warganya.

Example 300x600

“Seluruh suku bangsa dari Aceh sampai Papua ada di Mimika. Bahkan komunitas terkecil pun hidup dan dihormati. Kami menaungi sekitar 52 kerukunan.”

Ia berhenti sejenak, menatap hadirin yang memenuhi ruangan konferensi. Lalu melanjutkan dengan kelakar yang memecah suasana.

“Kalau Singkawang dikenal Seribu Kelenteng, Lombok Seribu Masjid, maka Mimika adalah Sejuta Gereja. Karena gereja ada di mana-mana.”

Tawa peserta menggema. Namun di baliknya, ada kesadaran bahwa keragaman itu bukan sekadar anekdot statistik. Mimika adalah daerah yang wajah keberagamaannya menakjubkan: Kristen 48,07 persen, Islam 28,09 persen, Katolik 22,76 persen, Hindu 0,08 persen, Buddha 0,05 persen, dan Konghucu 0,01 persen — sebuah komposisi yang jika salah kelola, dapat menjadi bara. Tetapi Mimika memilih musik, bukan konflik.

Kerukunan sebagai Laku Sehari-hari

Tidak ada retorika besar ketika Bupati Mimika menggambarkan harmoni. Yang ia sampaikan adalah keseharian yang membumi — hal-hal yang terjadi bukan dalam seminar, tetapi di jalan, panggung perayaan, dan rumah-rumah ibadah.

“Perayaan Natal dan Paskah, semua agama terlibat. Pawai obor Paskah, semua ikut. Begitu pula pawai takbir saat Ramadan, semua berjalan bersama.”

Di Mimika, keberagaman tidak membutuhkan panggung khusus. Ia terjadi karena semua orang terbiasa melakukannya. Dan ketika hari-hari besar agama tiba, mereka saling menjaga. Yang Muslim menjaga gereja, yang Kristiani menjaga masjid. Di kota itu, rasa aman adalah milik bersama, bukan eksklusivitas agama tertentu.

Ekosistem toleransi ini diperkuat dengan kebijakan konkret. Pemerintah mengalirkan hampir Rp3 miliar kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk membangun ruang-ruang dialog. Tahun ini pula, insentif diberikan kepada sekitar 1.000 tokoh agama dari lima agama besar — bentuk penghargaan yang jarang ditemukan di daerah lain.

“Tahun depan kemungkinan meningkat. Kami sedang melakukan pendataan,” ujar sang bupati.

Mimika Rumah Kita: Sebuah Iman Sosial

Di hadapan peserta KKT, Bupati Mimika menjelaskan bahwa daerahnya memiliki satu frase yang menyatukan semuanya: Mimika Rumah Kita. Sebuah kalimat sederhana yang pada dasarnya adalah kredo.

“Dalam Mimika Rumah Kita, tidak boleh ada orang sakit, lapar, atau bodoh. Semua dari budaya, agama, bahasa apa pun, wajib menjaga rumah besar ini.”

Tagline itu adalah terjemahan hidup dari moto asli daerah, Eme Neme Yauware — bersatu, bersaudara, membangun. Sebuah falsafah yang tidak hanya ia ucapkan, tetapi ia nyanyikan. Bupati John menciptakan lagu berjudul “Mimika Rumah Kita”, sebuah balada yang merayakan keberagaman, kerukunan, dan harapan.

Konferensi Toleransi dan Cermin Singkawang

KKT 2025 diselenggarakan oleh SETARA Institute sebagai ruang berbagi praktik baik pembangunan toleransi. Singkawang menjadi tuan rumah bukan tanpa alasan. Kota Seribu Kelenteng ini selama bertahun-tahun meraih skor tertinggi dalam Indeks Kota Toleran — rekam jejak yang menjadikannya simbol keberagaman Indonesia.

Dengan tema “Menguatkan Inisiatif dan Kolaborasi, Membangun Ekosistem Toleransi”, konferensi ini menarik jejak perjalanan, menghadirkan pemerintah daerah untuk saling bertukar inspirasi.

Dan di panggung itu, Mimika tampil bukan sebagai kota yang selesai, tetapi sebagai kota yang terus belajar. Kota yang merawat kerukunan bukan karena aman, tetapi karena sadar betapa rapuhnya hidup bersama — dan betapa berharganya persaudaraan yang dipilih, bukan diwariskan.

Harmoni yang Diusahakan

Apa yang dibawa Mimika ke Singkawang bukan laporan keberhasilan, melainkan kesaksian. Bahwa keberagaman yang dijaga dengan kasih akan melahirkan rumah yang teduh. Bahwa toleransi bukan wacana, tetapi tindakan kecil yang dilakukan setiap hari.

Di ruang konferensi itu, suara Bupati Mimika seakan mengingatkan seluruh peserta:

Bahwa di Indonesia, kita tidak sekadar hidup berdampingan. Kita belajar merawat keberagaman sebagai warisan paling halus — sekaligus paling rentan — dari negeri ini.

Example 300250