JAKARTA |LINTASTIMOR.ID) — Pukul 04.45 WIB, Kamis (4/12/2025), ketika sebagian besar kota masih tidur dan fajar belum mengusap langit, Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming telah melangkah ke pesawat di Lanud Halim Perdanakusuma.
Ia bertolak menuju tiga provinsi terdampak banjir besar—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—yang kini sedang berjuang menahan luka bersama.
“Ketika rakyat terkena bencana, pemimpin harus hadir lebih dulu sebelum cahaya,” ucap Gibran, sebuah pernyataan singkat namun kuat, seakan menjadi kompas moral bagi perjalanan kemanusiaannya.
Denyut darurat di tiga provinsi
Data BNPB per Rabu malam (3/12/2025) menggambarkan skala bencana yang sangat besar:
- 604 orang meninggal dunia
- 464 masih hilang
- 2.600 luka-luka
- 1,5 juta warga terdampak di 50 kabupaten/kota
- Ratusan rumah hanyut, 87 jembatan putus, 14 ruas jalan nasional lumpuh
Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah wajah-wajah yang kehilangan rumah, kenangan yang tersapu, dan masa depan yang mendadak samar.
Perjalanan subuh yang membawa harapan
Agenda Wapres Gibran di Sumatera meliputi tinjauan langsung ke:
- Aceh Tamiang – ribuan warga terisolasi air bah
- Karo–Deli Serdang–Langkat (Sumut) – akses logistik terhambat ambruknya jembatan
- Agam–Limapuluh Kota–Padang Pariaman (Sumbar) – longsor parah, sekolah dan lahan pertanian rusak
Ia dijadwalkan memimpin rapat darurat, mengecek dapur umum, memastikan logistik menjangkau titik-titik terpencil, dan mendengarkan langsung keluh kesah warga.
“Kita bukan hanya menghitung kerusakan, tetapi menjaga agar harapan tidak ikut tenggelam,” ungkapnya.
Di antara air yang tak menunggu
Bencana tidak pernah menunggu kesiapan siapa pun. Air datang, merobek tanah, menghanyutkan rumah, lalu menyisakan kesunyian yang menggigit.
Di tengah itu semua, perjalanan pemimpin pada subuh hari terasa seperti kesediaan negara untuk berjaga.
Relawan, tenaga medis, dan aparat sudah bekerja siang-malam.
Kehadiran Gibran menambahkan satu lapis makna lain: bahwa negara tidak hanya hadir dalam rapat, tetapi datang untuk menyentuh luka yang masih basah.
Krisis yang membutuhkan cara baru
BNPB mencatat sejumlah faktor yang memperburuk bencana:
- Curah hujan ekstrem 30% lebih tinggi dari rata-rata lima tahun sebelumnya
- 62% wilayah terdampak tanpa tanggul permanen
- 47% sungai mengalami sedimentasi berat
- 33 titik peringatan dini banjir rusak
- 1,2 juta warga tinggal di zona sangat rawan
Data itu menegaskan satu hal: bencana semakin kompleks dan tak lagi bisa ditangani dengan pola lama.
Solusi yang dibawa dari jakarta
Rombongan Wapres tidak datang dengan tangan kosong. Ada rencana cepat dan jangka panjang yang dibawa:
1. Pemulihan darurat
- Jembatan darurat
- Normalisasi sungai
- Relokasi kawasan tak layak huni
2. Sistem peringatan dini yang diperkuat
- Perbaikan sensor dan sirine desa
- Pelatihan evakuasi publik
3. Bantuan hidup terpadu
- Logistik 24 jam
- Layanan kesehatan dan psikososial
- Data penyintas berbasis digital
4. Strategi jangka panjang
- Reforestasi hulu
- Penguatan bendungan
- Pemetaan risiko dengan teknologi geospasial
Reflektif: pertanyaan yang tertinggal setelah banjir
Di balik lumpur dan air keruh, selalu ada pertanyaan yang lebih sunyi:
Apakah kita sudah menjaga aliran air yang selalu mencari jalannya?
Apakah kita membangun cukup bijak untuk mencegah bencana serupa?
Apakah kehadiran negara cukup cepat?
Hari ini, seorang Wakil Presiden memilih terbang sebelum matahari.
Namun perjalanan melawan bencana adalah perjalanan seluruh bangsa—dari pemimpin hingga warga desa paling terpencil.
“Kita mungkin tak bisa menghentikan hujan, tetapi kita bisa menghentikan kelalaian,” kata Gibran, kalimat yang terasa lebih penting dari sekadar kunjungan resmi.
Dari subuh Halim Perdanakusuma hingga titik-titik banjir di Sumatera, langkah ini menjadi pengingat bahwa negara masih dapat hadir—bahkan sebelum dunia benar-benar terbangun.
















