Infrastruktur & Gerak Hidup Kota Mimika
“Jalan bukan sekadar aspal. Ia adalah nadi. Di sanalah denyut sosial, ekonomi, dan perjalanan manusia mengalir tanpa henti.”
MIMIKA |LINTASTIMOR .ID)-Jalan Hasanudin, yang dulu mulus dan tegas, kini menua dengan gelombang–seperti kenangan yang tertambat pada waktu dan beban. Tidak berhenti hanya sebagai kerusakan fisik, ia berubah menjadi refleksi: tentang pembangunan yang harus dirancang dengan pandangan jauh, bukan sekadar proyek musiman.
Plt. Dinas PU PR Mimika, Innosensius Yoga, membuka suara dengan nada realistis namun tetap menyimpan tekad:
“Jalan Hasanudin bergelombang, memang kita harus tangani secara menyeluruh.”
Tak ada parsial. Tak ada tambal lalu selesai. Jalan ini memerlukan review utuh–mulai dari struktur dasar, kapasitas, hingga pola lalu lintas yang melintasinya. Sejak awal, ia dibangun untuk beban ringan, tanpa ramalan bahwa kendaraan berat kelak akan melintas setiap jam, tanpa rem, tanpa jembatan timbang, tanpa seleksi bobot. Maka bergelombanglah badan jalan, dan terengah-engahlah aspal menahan tonase yang melampaui naskah perencanaannya.
Jalan Sebagai Lintasan Waktu
Dinas PU PR tidak hanya menatap Hasanudin. Nama-nama lain pun ikut memanjang dalam daftar perawatan: Bougenvil, Bayangkara, Serui Mekar, Pendidikan, hingga Mayon. Drainase dibersihkan, ditata, ditinggikan. Jalan di-overlay, ditopang ulang agar tak runtuh oleh air dan urbanisasi.
Bukan lagi sekadar proyek perbaikan, tetapi respons atas ritme baru Mimika—kota yang tumbuh cepat, penduduk yang bertambah, hujan yang lebih deras, intensitas yang tak lagi sama seperti sepuluh tahun lalu. Infrastruktur lama kini menampung arus baru; dan seperti tubuh, ia butuh penyesuaian agar kembali mampu menanggung kehidupan.
“Kita ingin jalan kuat, aman, dan lancar. Semua perencanaan harus utuh dan bersama pihak terkait,”
demikian Yoga menegaskan dalam jeda penuh tekad.
Data yang Berbicara, Bukan Asumsi
Gelombang di Hasanudin bukan perkara estetika; ia adalah alarm data:
- Tonase jalan melampaui daya dukung awal desain
- Belum adanya jembatan timbang yang mengontrol bobot kendaraan
- Kenaikan populasi dan intensitas transportasi dalam satu dekade terakhir
- Drainase yang tak seimbang dengan volume hujan
Semuanya menjelma menjadi bukti, bahwa pembangunan tidak bisa hanya dikejar cepat, tetapi harus dipikirkan dalam lanskap jangka panjang.
Kota yang Membangun Diri Kembali
Jalan-jalan Mimika adalah cerita perjalanan warganya: pekerja pagi hari, ibu-ibu pasar, anak-anak berseragam sekolah, ambulans yang berpacu dengan detik, truk logistik yang membawa denyut ekonomi. Ketika permukaannya gelombang, perjalanan pun ikut terguncang.
Hasanudin menjadi metafora: bahwa pembangunan tidak boleh lagi reaktif, tetapi proaktif, presisi, dan berpijar dari data, bukan sekadar catatan proyek.
Di titik ini Mimika seolah menyadari—bahwa jalan raya bukan sekadar lintasan menuju tujuan, tetapi ruang publik dengan tanggung jawab panjang: merawat keselamatan, mendukung ekonomi, dan menegakkan disiplin tata ruang.
Saat gelombang jalan akhirnya diratakan bukan dengan tambalan, tetapi dengan perencanaan ulang menyeluruh, Mimika tengah memahat dirinya sebagai kota yang belajar: dari masa, dari beban, dari aspal yang retak.
Jalan Hasanudin tak lagi sekadar nama, melainkan pengingat bahwa pembangunan tidak pernah selesai–ia hanya memasuki bab demi bab, menuju ketahanan yang lebih matang.
Dan pada setiap kilometer yang diperbaiki, kita sedang memperbaiki cara melihat kota—bahwa infrastruktur adalah puisi tak bersyair, yang memelihara denyut hidup seluruh warganya.
















