TIMIKA, [LINTASTIMOR.ID] — Di tengah denyut nadi Kota Timika yang tak pernah benar-benar diam, sebuah lubang luka terus menganga: galian C di kawasan Jembatan Selamat Datang.
Aktivitasnya tak hanya mengoyak wajah kota, tapi juga menyisakan getir di hati warga. Suara keresahan pun kembali digaungkan, kali ini oleh Anggota DPRK Mimika dari Dapil I, Billianus Zoani.
“Ini bukan cerita baru. Saat reses tahap pertama, masyarakat menyampaikannya langsung. Mereka lelah, cemas, dan kecewa. Setiap hujan turun, yang mengalir bukan sekadar air, tapi juga kecemasan. Bahkan pernah ada korban hanyut. Ini bukan sekadar kelalaian—ini kelangsungan hidup yang terancam,” tutur Billianus, Kamis (31/7/2025).
Ia menyesalkan sikap pemerintah daerah yang terkesan menutup mata terhadap dampak yang kian nyata. “Galian ini bukan lagi sekadar urusan pasir dan batu. Ini soal nyawa, soal hak dasar warga yang terampas pelan-pelan,” tegasnya.
Menurut Billianus, aktivitas pertambangan material di kawasan kota harus ditata ulang, bukan dibiarkan liar dan tak terpantau. Kota, katanya, adalah rumah bersama, dan tidak boleh dikorbankan demi keuntungan sesaat.
“Kita bisa saja menggali bumi untuk harta, tapi jangan sampai menggali kubur untuk masa depan kita sendiri.
Galian ini berada di jantung kota, tempat orang berlalu-lalang, anak-anak bermain, dan kehidupan dibangun. Harusnya ada ketegasan, ada pengawasan, dan yang terpenting: ada nurani,” ujarnya penuh tekanan.
Bukan hanya soal banjir dan longsor, Billianus juga menyinggung dampak ekologis yang pelan tapi pasti menggerus kualitas hidup. Ia mencatat penurunan debit air tanah di sekitar wilayah galian yang kini makin sulit dijangkau warga.
“Dulu cukup satu pipa enam meter, sekarang tiga pipa baru keluar air. Air tanah tak lagi mudah ditemukan, seperti menjauh karena kita tak menjaganya. Ini alarm yang harus didengar,” jelasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan sebuah seruan penuh makna: “Pemerintah jangan menunggu tangis dan korban baru. Penertiban harus segera dilakukan. Evaluasi izin, hentikan yang ilegal, dan pulihkan yang terluka. Kota ini butuh perlindungan, bukan pengabaian.”
Sebab Timika tak butuh lubang-lubang keserakahan. Ia butuh ruang untuk tumbuh, air untuk hidup, dan langit yang tetap teduh bagi generasi berikutnya.