JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Di tengah gencarnya operasi penertiban moke, suara lirih dari kampung-kampung di NTT menemukan corongnya pada Benny Kabur Harman.
Angin siang di awal November itu membawa keresahan. Di banyak desa di Flores, Sumba, Timor, dan Alor, asap dapur penyuling moke mengepul lebih pelan dari biasanya—seolah ikut waspada pada langkah aparat yang kian sering melintasi jalan tanah menuju kebun-kebun tuak.
Di Jakarta, seorang putra daerah angkat bicara.
Anggota DPR RI Komisi III asal NTT, Benny Kabur Harman (BKH), menilai operasi penertiban minuman keras lokal itu menyentuh titik paling rawan dalam kehidupan rakyat kecil: sumber nafkah mereka sendiri.
“Masyarakat sudah susah cari uangnya dari hasil menjual minuman lokal itu. Kasihan itu,” ujar BKH, Selasa siang, 11 November 2025.
BKH tidak sedang membela mabuk-mabukan. Ia sedang membela rasa keadilan yang, menurutnya, mesti melihat akar tradisi dan situasi sosial ekonomi NTT yang tak pernah benar-benar lunas dari persoalan kemiskinan.
Moke bukan sekadar minuman.
Ia adalah budaya, persaudaraan, alat penyambung hidup, dan kadang, satu-satunya pendapatan tetap bagi keluarga yang tak punya sawah luas atau ternak besar. Setiap tetesan yang disuling dari tuak lontar adalah bagian dari ekonomi rakyat yang berjalan pelan namun stabil.
Karena itu, ketika aparat turun dengan wajah penertiban, banyak warga merasa seolah tradisinya ikut diperiksa.
BKH meminta sesuatu yang terdengar sederhana, namun sesungguhnya politis: doa bersama untuk mendapatkan Kapolda yang mengerti NTT.
“Masyarakat NTT silakan serempak berdoa. Mudah-mudahan Tuhan kirimkan Kapolda yang mencintai NTT, yang mencintai rakyatnya,” ungkapnya.
Dalam tutur politikus asal Manggarai ini, terkandung kegelisahan panjang: bagaimana hukum ditegakkan tanpa mengabaikan kearifan lokal? Bagaimana negara hadir tanpa merenggut ruang hidup masyarakat kecil?
Ia menjelaskan bahwa moke—seperti jagung titi dan sopi merah—adalah identitas. Menghilangkannya secara paksa sama dengan memutus alur tradisi.
“Itu kan sumber pendapatan rakyat. Sudah rakyat susah, kok dibikin susah lagi,” katanya.
BKH mengingatkan bahwa penegakan hukum harus menjadi jembatan, bukan palu yang menghantam semua yang ada di hadapan.
“Kalau ada yang mabuk buat masalah, ya itu yang ditindak. Bukan malah penjualnya,” tegasnya.
Seruan itu menggema sebagai refleksi yang lebih luas: bahwa kebijakan apa pun yang menyentuh tubuh sosial suatu daerah harus dimulai dengan memahami denyut nadi warganya. Sebab di NTT, moke bukan sekadar minuman—melainkan cara orang bertahan hidup, bertamu, berdamai, dan saling mengakui.
Dan doa BKH itu, mungkin, adalah cara lain untuk mengingatkan negara agar tidak lupa pada manusia di balik setiap tetes moke.
















