Kuasa Hukum Laporkan Letda Luqman ke Polisi Militer
KUPANG |LINTASTIMOR.ID)— Sidang kasus kematian Prada Lucky kembali menimbulkan gelombang baru. Seorang perwira muda, Letda Luqman Hakim Oktavianto, Komandan Peleton Kompi di Yonif Teritorial Pembangunan (TP) 834/Waka Nga Mere, kini berbalik menjadi terlapor. Ia diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah saat bersaksi di hadapan majelis hakim Pengadilan Militer III-15 Kupang, Selasa (11/11).
Laporan terhadap Luqman dilayangkan oleh kuasa hukum keluarga korban, Rikha Permatasari, S.H., M.H., C.Med., C.L.O., C.PIM., ke Komandan Polisi Militer Kodam IX/Udayana, Denpasar. Nomor laporan: 06/LP/RP-LAW/XI/2025. Surat itu juga ditembusi ke Dandenpom IX/1 Kupang, Jalan Polisi Militer No.9, Oebobo, Kota Kupang.
“Pernyataan yang disampaikan saksi di bawah sumpah diduga tidak benar dan menyesatkan jalannya proses hukum,”
— Rikha Permatasari, Kuasa Hukum Keluarga Prada Lucky
Sumpah yang Terluka
Rikha menilai, Letda Luqman telah melanggar Pasal 242 KUHP tentang keterangan palsu di bawah sumpah dengan ancaman pidana tujuh tahun penjara. Sebagai perwira yang kala itu memiliki tanggung jawab komando, ia juga diduga menabrak Pasal 8, 88, 103, dan 126 KUHPM—yang menuntut seorang perwira melindungi prajurit di bawahnya dari ancaman atau kematian yang tidak wajar.
“Tugasnya jelas: melindungi anak buah agar tak kehilangan nyawa. Tapi yang terjadi justru sebaliknya,” tutur Rikha.
Menurutnya, kesaksian Luqman yang penuh jeda “tidak tahu” dan “lupa” memberi kesan menutupi kebenaran di balik malam berdarah itu.
Keluarga Merasa Dikhianati
Bagi keluarga almarhum Prada Lucky, kesaksian Luqman adalah bentuk pengkhianatan terhadap nurani. Mereka menganggap jawaban saksi tidak jujur, bahkan cenderung menutup fakta sebenarnya di balik tragedi malam 28 Agustus 2025.
“Kami tidak ingin proses hukum atas kematian Prada Lucky ternodai oleh keterangan palsu.
Ada kesan kuat menutup-nutupi kasus ini,”
— Rikha Permatasari
Langkah hukum ini, kata Rikha, adalah bentuk perlawanan terhadap praktik yang berpotensi mencederai sumpah kehormatan seorang prajurit. “Sumpah bukan sekadar formalitas, tapi janji di bawah langit dan negara,” ujarnya.
Ingatan yang Hilang di Ruang Intel
Dalam persidangan, Letda Luqman menjadi saksi ke-30 dari 31 saksi yang dihadirkan oditur. Ia bersaksi untuk 17 terdakwa dari berbagai kesatuan, termasuk Thomas Desambris Awi, Andre Mahoklory, hingga Yulianus Rivaldy Ola Baga.
Ia mengaku mengetahui adanya kekerasan terhadap Prada Lucky dan Prada Richard di ruang staf intel pada malam 28 Agustus. Ia bahkan sempat menasehati beberapa pelaku, namun tak mencegah atau melaporkan kejadian itu ke atasan.
“Kami melihat mereka dicambuk di bagian punggung.
Saya lupa siapa duluan dan lupa berapa kali dicambuk,”
— Letda Luqman di Persidangan Dilmil III-15 Kupang
Pernyataan itu menjadi titik rawan. Bagi kuasa hukum korban, pengakuan “lupa” bukan lagi bentuk kehati-hatian, melainkan cermin ketakutan atau keberpihakan.
Kebenaran yang Belum Utuh
Kasus kematian Prada Lucky kini bukan hanya perkara penganiayaan hingga tewas. Ia berubah menjadi ujian moral bagi militer sendiri—antara loyalitas dan nurani, antara sumpah kehormatan dan keberanian bersaksi jujur.
Di ruang sidang, di balik seragam hijau dan tatapan kaku, tersisa satu pertanyaan:
Siapa yang benar-benar berani menyebut kebenaran?
















