Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Gaya HidupKabupaten MimikaNasionalPeristiwaPolkamTeknologi

Di Bangku Gereja, Politik Belajar Mendengar: Reses Natal Herman Tangke Pare di Nawaripi Dalam

56
×

Di Bangku Gereja, Politik Belajar Mendengar: Reses Natal Herman Tangke Pare di Nawaripi Dalam

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-Di suatu Selasa yang teduh menjelang Natal, ketika lonceng gereja memanggil umat untuk hening dan harap, politik turun dari mimbar kekuasaan dan duduk di bangku jemaat.

Herman Tangke Pare, S.T, Anggota DPRK Mimika, memilih ruang yang sunyi dan sakral untuk mendengar: Gereja Santo Stefanus di Jalan Busiri dan Gereja Santo Agustinus di kawasan Nawaripi Dalam, Selasa (16/12/2025).

Example 300x600

Reses Tahap III itu tidak sekadar agenda formal legislasi. Ia menjadi perjumpaan batin antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya—pertemuan yang merayakan dialog, bukan retorika.

Di bawah atap gereja, aspirasi disampaikan tanpa mikrofon berlebih, tanpa tepuk tangan. Yang hadir adalah suara-suara keseharian: tentang jalan yang berlubang, tentang layanan kesehatan yang tak kunjung utuh, tentang kegelisahan akan generasi muda yang terjebak minuman keras, dan tentang rasa aman yang semakin dirindukan.

“Hari ini kami melaksanakan reses tahap III di Gereja Santo Stefanus dan Santo Agustinus. Kami ingin mendengar langsung apa yang menjadi kebutuhan dan harapan masyarakat,” ujar Herman, dengan nada yang lebih menyerupai kesaksian daripada pidato.

Warga Nawaripi Dalam menuturkan keluh kesah mereka. Jalan yang rusak menjadi saksi sunyi keterisolasian. Pelayanan kesehatan yang belum maksimal terasa sebagai jarak antara janji dan kenyataan. Kekhawatiran akan maraknya konsumsi minuman keras di kalangan anak muda melahirkan permintaan sederhana namun mendesak: pos keamanan, agar kampung kembali merasa aman.

Dari pihak gereja, suara iman bertemu kebutuhan nyata. Halaman gereja yang perlu ditimbun, pagar yang perlu dibangun—bukan sekadar soal bangunan, tetapi tentang menjaga ruang ibadah sebagai pusat perjumpaan dan pengharapan.

Herman mencatat satu per satu, seperti seorang murid yang belajar dari kehidupan.

“Seluruh aspirasi ini akan kami perjuangkan melalui mekanisme DPRK, baik dalam pembahasan anggaran maupun koordinasi dengan pemerintah daerah,” tegasnya.

Ia sadar, politik bukan hanya soal membuat keputusan, tetapi soal keberanian membawa suara kecil ke ruang besar. Ia pun menyampaikan harapannya dengan nada yang jujur:

“Kami ingin agar usulan-usulan ini benar-benar dijawab, supaya masyarakat merasakan kehadiran negara, bukan hanya mendengar namanya.”

Menjelang akhir pertemuan, reses itu menemukan wajah lain—wajah kepedulian. Dalam semangat Natal dan Tahun Baru, Herman Tangke Pare menyerahkan kado Natal berupa sembako dan bantuan uang tunai kepada Gereja Santo Stefanus dan Gereja Santo Agustinus. Sebuah isyarat sederhana, namun bermakna: bahwa kehadiran wakil rakyat tidak selalu harus diukur dari besar kecilnya kebijakan, melainkan dari ketulusan hadir dan berbagi.

Di Nawaripi Dalam, politik hari itu tidak berteriak. Ia berdoa, mendengar, dan mencatat. Barangkali inilah politik yang paling manusiawi—politik yang belajar diam di rumah ibadah, agar kelak mampu bersuara lebih adil di ruang pengambilan keputusan.

Example 300250