Pasca tuntutan 22 terdakwa dibacakan, perjuangan keluarga Prada Lucky Saputra Namo ternyata belum selesai. Jalan panjang itu kini menanjak ke satu titik tunggal: komando.
KUPANG |LINTASTIMOR.ID) — Dalam sunyi ruang sidang Pengadilan Militer III-15 Kupang, Rabu (10/12/2025), satu kalimat keluar dari bibir kuasa hukum keluarga Prada Lucky, Akhmad Bumi—pelan, namun menggetarkan struktur hukum militer yang bertingkat dan tertib.
“Setelah tuntutan terhadap 22 terdakwa selesai besok, kami akan membuka laporan baru terhadap Danyon Letkol Inf Justik Handinata.
Fakta persidangan memperlihatkan bahwa beliau mengetahui kejadian itu.
Sebagai penanggung jawab utama di batalyon, ia seharusnya bertindak, bukan membiarkan.”
Ucapan itu bukan sekadar protes; ia adalah penanda arah baru. Bagi keluarga Prada Lucky, keadilan tidak boleh berhenti pada mereka yang memukul, mengikat, atau menendang. Tanggung jawab, bagi mereka, juga menyangkut mereka yang membiarkan.
Di Mana Komando Berdiri Saat Nyawa Melayang?
Dalam doktrin militer, komando adalah sumbu. Setiap gerakan prajurit berulang pada satu garis vertikal yang disebut tanggung jawab struktural. Dan di sinilah kritik keluarga menancap: jika benar ada pengetahuan tanpa tindakan, maka kelalaian komando menjadi sebuah pertanyaan hukum—dan moral—yang tidak sederhana.
KUHP Militer, terutama Pasal 131 ayat (1), (2), dan (3) yang kini menjerat 17 terdakwa pada berkas terpisah, memang mengatur penganiayaan dalam lingkup militer. Namun hukum militer juga membuka ruang pertanggungjawaban komando jika ditemukan unsur pembiaran dalam rantai komando.
Meski unsur-unsur itu belum diputuskan, langkah keluarga membuka laporan ke Denpom IX/1 Kupang memperlihatkan satu pesan: hukum bukan hanya mencari siapa yang memukul, tetapi juga siapa yang seharusnya mencegah.
Tuntutan Berat dan Bayang Restitusi
Dalam tuntutan oditur, 17 terdakwa dijerat pidana pokok 6–9 tahun penjara dan pemecatan dari dinas militer. Angka restitusi pun tidak kecil:
- Rp 554 juta untuk berkas kedua,
- Rp 561 juta untuk empat terdakwa di berkas pertama,
- Rp 554 juta untuk terdakwa dalam berkas ketiga.
Akhmad Bumi menilai tuntutan itu sudah sejalan dengan peran masing-masing terdakwa.
“Menurut saya, tuntutan ini cukup adil. Mereka terbukti turut serta sebagaimana dakwaan primer,” ujarnya.
Namun tetap ada ruang kosong dalam hati keluarga: mereka berharap Pasal 339 atau 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dapat dipertimbangkan. Harapan itu belum terjawab.
Suara Ibu: Luka Yang Tak Pernah Benar-Benar Sembuh
Di antara tumpukan dokumen, daftar tuntutan, dan istilah hukum yang berlapis, suara paling jernih justru datang dari seorang ibu.
Sepriana Paulina Mirpei, ibu Prada Lucky, berdiri dengan mata yang memeram terlalu banyak duka.
“Salah satu harapan kami itu semua terdakwa dipecat.
Untuk pidana pokok, kami juga bersyukur oditur mau mendengar isi hati kami,” katanya, pelan.
Ia tahu, langkah selanjutnya lebih berat. Tapi ia juga tahu, keadilan bagi anaknya tidak boleh berhenti di tengah jalan.
“Kami berharap laporan terhadap Danyon nantinya berjalan transparan.
Kami hanya ingin keadilan penuh untuk Lucky.”
Antara Disiplin Militer dan Keadilan Sipil
Kasus Prada Lucky menjadi cermin besar mengenai bagaimana hukum militer bekerja. Tingkatan komando, standar disiplin, dan kultur kesatuan sering kali menciptakan “lapisan-lapisan sunyi” yang tidak mudah ditembus wartawan, keluarga, bahkan aparat penegak hukum.
Namun kasus ini sekaligus memperlihatkan sesuatu yang lebih terang: bahwa keluarga korban dapat menggeser batas pengetahuan publik, dan bahwa sistem hukum militer harus tetap terikat pada prinsip-prinsip keadilan universal—keterbukaan, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban komando.
Di sinilah esensi jurnalisme damai bekerja: bukan mengadu pihak, bukan membakar institusi, tetapi mendorong reformasi yang lebih manusiawi dalam tubuh militer agar tidak ada lagi prajurit yang gugur di tangan rekan sendiri.
Arah Baru: Mengetuk Pintu Komando
Ketika tuntutan 22 terdakwa rampung, lembar berikutnya bukanlah penutup. Ia adalah babak baru: laporan terhadap seorang komandan batalyon.
Jika laporan itu diterima, hukum militer akan diuji: apakah komando yang membiarkan dapat dimintai pertanggungjawaban?
Jika laporan itu ditolak, pertanyaannya tetap menggantung di udara.
Yang jelas, keluarga Prada Lucky sudah menegaskan satu hal:
Keadilan bagi seorang prajurit muda tidak berhenti pada 22 terdakwa.
Ia harus menanjak setinggi struktur yang menaunginya.
















