Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Di Balik Seragam yang Ternoda: Ratap Seorang Ayah yang Menagih Keadilan”

77
×

Di Balik Seragam yang Ternoda: Ratap Seorang Ayah yang Menagih Keadilan”

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Di ruang sidang yang dingin itu, suara Oditur Militer menggema seperti irama palu takdirmembacakan tuntutan pecat, tahun-tahun penjara, serta daftar hukuman tambahan yang seakan menulis ulang peta luka sebuah keluarga. Namun bagi seorang ayah bernama Pelda Cristian Namo, keadilan tidak selesai pada kata “dituntut.” Ia menunggu sesuatu yang lebih jernih, lebih tegas, lebih setara dengan nyawa yang hilang.

Tak ada yang lebih perih bagi seorang ayah dalam dunia ini selain melihat nama anaknya dirangkai dengan kata almarhum dalam berkas perkara. Prada Lucky Saputra Namo, seorang prajurit muda yang seharusnya tumbuh dalam disiplin, loyalitas, dan perlindungan rekan sejawat, justru dipulangkan dalam peti. Sejak itu, seorang ayah dan keluarganya berjuang bukan hanya untuk mengingat, tetapi untuk menuntut kepastian bahwa kehilangan ini tidak tenggelam dalam prosedur yang kaku.

Example 300x600

Ketika Oditur Militer membacakan tuntutan—pemecatan terhadap 17 terdakwa, vonis penjara hingga 9 tahun, serta hukuman tambahan yang mengikat nama mereka pada tindak pidana ini—sebuah hembusan lega terdengar dari keluarga Prada Lucky.

Bukan karena duka mereka berkurang, melainkan karena langkah hukum mulai menemukan arahnya.

Pelda Cristian Namo kepada Redaksi Lintastimor.id saat dihubungi via WhatsAppnya, Kamis 11 Desember 2025 pagi, Ia menuturkan bahwa setelah  menyimak semuanya dengan kepala tegak, meski ada getar yang sulit disembunyikan.

Setelah sidang, ia berkata dengan suara yang lebih merupakan bisikan dari hati yang terkoyak:

“Kami puas dengan tuntutan ini. Hukuman tambahan yang dibacakan sudah sangat memuaskan. Tapi kami mohon… dalam putusan nanti, jangan ada yang berubah.”

Kata-katanya tidak melawan negara, tidak menyerang institusi, tidak memecah. Justru itulah bentuk jurnalisme damai: suara keluarga korban yang berbicara jernih dari ruang sakit, tanpa merusak tatanan yang sedang mencari kebenarannya sendiri.

Namun Pelda Cristian tidak berhenti di situ. Ada satu hal yang terus mengganggunya: pasal.

Terdakwa masih dituntut dengan Pasal 351 Ayat 3 tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Bagi seorang ayah yang harus menerima anaknya pulang dalam keheningan, pasal itu terasa tidak cukup memuat berat kenyataan.

“Kami memohon agar pasal 351 Ayat 3 dapat dinaikkan ke Pasal 340. Kami ingin hukuman maksimal bagi semua tersangka.”

Dalam dunia hukum, permohonan itu adalah jeritan yang mencoba ditata menjadi kalimat. Dalam dunia sastra, ia adalah syair kehilangan yang mencari rima keadilan. Dalam dunia kemanusiaan, ia adalah langkah terakhir seorang ayah untuk memastikan bahwa anaknya tidak mati dua kali—pertama di tangan para terdakwa, kedua di dalam putusan yang tidak sepadan.

Keluarga Namo tidak menginginkan balas dendam. Mereka tidak meminta lebih dari apa yang hukum dapat berikan. Mereka hanya menagih janji: bahwa hukum adalah ruang teraman terakhir ketika hidup telah membelok ke arah yang paling tragis.

Di tengah perjalanan panjang ini, satu hal menjadi terang:
keadilan bukan hanya soal menghukum, tetapi tentang memberi ruang bagi keluarga untuk percaya bahwa negara melihat luka mereka, mendengar harapan mereka, dan tidak mengabaikan air mata mereka.

Dan di balik semua itu, suara Cristian Namo tetap berdiri teguh—pelan, tetapi tegas:

“Keadilan itu tidak boleh kompromi. Biar hukuman menjadi setara dengan kehilangan kami.”

Dalam sidang berikutnya, palu hakim akan mengetuk. Tapi gema dari suara seorang ayah mungkin akan lebih lama tinggal di ruangan itu.

Example 300250