Laporan Khusus Redaksi Lintastimor.id ———
TAPANULI |LINTASTIMOR.ID)-Pagi di Desa Anggoli tidak lagi hanya milik kabut dan tanah basah. Di antara sisa longsor dan jalan yang terbelah, deru mesin dan langkah sepatu lars menandai sesuatu yang lebih besar dari sekadar kunjungan pejabat: tanda kehadiran negara di tengah luka alam.
Rabu, 17 Desember 2025, Pangdam I/Bukit Barisan, Mayjen TNI Hendy Antariksa, berdiri di atas bentangan baja Jembatan Bailey—struktur sementara yang kini menjadi nadi utama penghubung jalur vital Tapanuli Selatan–Tapanuli Tengah.
Di bawahnya, aliran sungai masih membawa sisa-sisa amarah alam. Di sekitarnya, warga menunggu bukan hanya jalan pulih, tetapi juga kehidupan yang perlahan kembali bergerak.
Ketika Jalan Putus, Harapan Tak Boleh Terhenti
Bencana tidak pernah memilih waktu. Di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, tanah yang bergeser memutus akses jalan, memisahkan kampung dari dunia luar. Distribusi logistik terhambat, aktivitas ekonomi terhenti, dan rasa cemas menjalar di setiap tenda pengungsian.
Namun di tengah keterputusan itu, solusi bergerak.
TNI, melalui Kodam I/BB, tak hanya datang membawa seragam dan perintah, tetapi juga jembatan Bailey, dapur lapangan, posko kesehatan, fasilitas MCK, dan sumur bor—elemen dasar yang menentukan martabat hidup manusia pascabencana.
“TNI akan selalu hadir membantu masyarakat,” ujar Mayjen TNI Hendy Antariksa, suaranya tenang namun tegas.
“Apa yang kami bangun di sini bukan sekadar infrastruktur, tapi upaya meringankan beban dan memulihkan harapan masyarakat terdampak.”
Data, Aksi, dan Ketahanan Sosial
Berdasarkan pemantauan lapangan, pembangunan Jembatan Bailey di Desa Anggoli menjadi solusi cepat untuk memulihkan konektivitas antarwilayah, sementara di Desa Garoga, fokus diarahkan pada keamanan pengungsi dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Langkah ini menunjukkan pola respons berbasis solusi:
- Akses darurat dipulihkan lebih dulu, agar logistik dan bantuan bisa masuk.
- Layanan kesehatan dan sanitasi didirikan untuk mencegah krisis lanjutan.
- Air bersih melalui sumur bor memastikan kehidupan tetap berjalan meski alam belum sepenuhnya ramah.
Pendekatan ini bukan hanya reaktif, melainkan refleksi dari ketahanan sosial—bagaimana negara, aparat, dan masyarakat saling menopang di saat paling rapuh.
Di Balik Seragam, Ada Empati
Kunjungan Pangdam I/BB yang didampingi Kasdam I/BB, Danrem 023/KS, pejabat TNI-Polri, hingga kepala daerah setempat, bukan seremoni. Di tenda pengungsian, dialog terjadi. Di lokasi jalan terputus, rencana teknis dibahas. Di hadapan media, transparansi disampaikan.
Di sinilah jurnalisme menemukan maknanya: mencatat bukan hanya apa yang dibangun, tetapi mengapa kehadiran itu penting.
Bencana Menguji, Solidaritas Menjawab
Alam boleh merobohkan jalan, tapi tidak dengan solidaritas. Di Tapanuli Selatan, baja Bailey menjadi metafora: kokoh, sementara, namun menyelamatkan. Seperti harapan warga—retak, tapi tidak patah.
Ketika negara hadir bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai pekerja di tengah lumpur, maka bencana tak lagi sekadar cerita duka. Ia menjadi pelajaran tentang kehadiran, tanggung jawab, dan kemanusiaan.
Dan di pagi yang masih basah itu, di antara tanah longsor dan jembatan baja, Tapanuli Selatan kembali belajar berjalan—pelan, namun pasti.
















