KUPANG | LINTASTIMOR.ID — Dari penantian yang sunyi, jeritan seorang ayah menggema melintasi batas nusa dan nurani bangsa. Serma Chrestian Namo Namo, ayah almarhum Prada Lucky Chepril Saputra Namo, kembali bersuara lantang. Suaranya tajam, menusuk, dan mengguncang rasa keadilan yang mungkin mulai pudar di balik dinding hukum militer.
“Kalau putusannya para pelaku tidak dihukum mati semua,” tulisnya dalam unggahan media sosialnya yang kini viral, “maka saya, ayah almarhum Prada Lucky, akan meminta dilakukan otopsi ulang.”
Kalimat itu bukan sekadar ancaman emosional — melainkan seruan dari hati seorang ayah yang kehilangan anaknya karena kekerasan, dan kini hampir kehilangan kepercayaannya pada keadilan itu sendiri.
Jeritan dari Seorang Ayah
Dalam unggahan yang ditulis dengan huruf kapital, Serma Chrestian menegaskan bahwa keluarga Prada Lucky akan menuntut otopsi ulang, jika nanti vonis hakim terhadap para pelaku dinilai tidak setimpal. Namun kali ini, ia memberi syarat: otopsi hanya akan dilakukan oleh dokter yang netral dan diawasi lembaga kemanusiaan independen.
Ia menyebut dengan jelas:
- Dokter dari Komnas HAM
- Dokter sipil
- Dokter Polri
Semua harus bekerja dalam pengawasan lembaga kemanusiaan agar “hasil otopsi tidak diubah oleh orang-orang yang bermaksud jahat.”
“Itu adalah permintaan kami dari keluarga. Bila nanti otopsi akan dilakukan, kalau hukuman tidak sesuai dengan kenyataan yang ada,” tulisnya dengan nada getir yang menggema jauh lebih keras dari sekadar kata.
Hukum Berat, Pecat Semua Pelaku
Jeritan itu kini berubah menjadi seruan moral dari masyarakat Timur Indonesia:
“Hukum berat dan pecat semua pelaku!”
“Darah Prada Lucky teriakkan keadilan!”
“Nyawa bukan mainan, hukum berat, pecat semua pelaku!”
“Keadilan harus lebih keras dari pengecut!”
“Kami tidak diam: hukum berat, pecat tanpa ampun!”
Seruan-seruan itu menggema di berbagai grup media sosial, menjadi gema rakyat dari perbatasan Atambua hingga ke Kupang dan Jakarta. Mereka bukan bicara politik atau dendam — mereka bicara tentang harga sebuah nyawa yang diambil secara keji, dan harga keadilan yang tidak boleh didiskon oleh jabatan.
“Jangan Biarkan Keadilan Mati Bersama Prada Lucky”
Kalimat itu menjadi semacam doa dan peringatan. Di setiap unggahan keluarga dan kerabat, tagar-tagar perjuangan kini disertai kalimat itu.
Bagi mereka, kematian Prada Lucky bukan akhir cerita — tapi awal dari perjuangan untuk membuka kebenaran.
Serma Chrestian dan keluarga menegaskan bahwa mereka menuntut hukuman seberat-beratnya, termasuk hukuman mati bagi pelaku utama, sebagai bentuk keadilan setimpal atas hilangnya nyawa seorang prajurit muda yang seharusnya dilindungi, bukan disiksa.
“Prada Lucky gugur, hukum jangan tunduk,” tulis salah satu pendukung keadilan di laman komentar.
“Tidak boleh takut pada pengecut berseragam.”
Keadilan Harus Lebih Keras dari Pengecut
Setiap kalimat dari keluarga Namo kini menjadi tamparan bagi nurani bangsa. Dari ruang duka di Atambua, mereka ingin menyampaikan satu pesan kepada para penegak hukum: jangan biarkan nyawa dan kebenaran jadi permainan.
Mereka tidak ingin melihat lagi ada prajurit muda yang gugur tanpa makna, atau kasus kekerasan di tubuh militer yang berakhir dengan kompromi.
Karena bagi mereka, keadilan yang sejati harus lebih keras dari pengecut, lebih berani dari ketakutan, dan lebih jujur dari segala kepura-puraan.
Harapan dari Perbatasan
Kini, publik menanti langkah hakim di Pengadilan Militer III-15 Kupang. Apakah keadilan akan ditegakkan setegak-tegaknya, atau kembali terhenti di tengah jalan.
Sementara itu, keluarga Namo sudah siap dengan langkah terakhir mereka. Bila vonis tak sesuai harapan, otopsi ulang akan digelar, dan suara perlawanan akan terus bergema dari perbatasan.
Karena bagi seorang ayah yang telah kehilangan segalanya, keadilan bukan sekadar keputusan — melainkan janji suci untuk anaknya yang telah pergi.
LINTASTIMOR.ID
Suara dari Perbatasan untuk Dunia
















