ATAMBUA | LINTASTIMOR.ID)— Di tengah riuhnya arus digital yang kian deras, Kabupaten Belu tak ingin hanya menjadi penonton. Dari ruang ber-AC di Ballroom Hotel Matahari, Atambua, Kamis (23/10/2025), terdengar denyut baru: semangat para guru yang sedang menenun masa depan pendidikan di perbatasan dengan benang teknologi.
Workshop Pendidikan bertajuk “Penguatan Kualitas Guru di Era Digitalisasi” itu bukan sekadar acara formal, tetapi seperti ruang refleksi — tempat para pendidik belajar mengubah cara pandang dan cara ajar, agar tak tertinggal oleh zaman yang melesat cepat.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Komisi X DPR RI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah ini dibuka secara resmi oleh Anita Jacoba Gah, S.E., Anggota Komisi X DPR RI, didampingi Bupati Belu Willybrodus Lay, S.H., serta Dr. Yaya Sutarya, S.Pd., M.Pd., Kepala Subdirektorat Peningkatan Kapasitas, Perlindungan, dan Pengendalian Direktorat Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan.
“Guru di era digital bukan sekadar pengajar, tetapi penerang yang mampu menyalakan cahaya pengetahuan di tengah derasnya perubahan,”
— Willybrodus Lay, Bupati Belu
Dalam sambutannya, Bupati Willy Lay menegaskan bahwa kemajuan pendidikan di Belu tidak dapat dilepaskan dari kemampuan guru-guru untuk beradaptasi dengan teknologi. Menurutnya, pendidikan bukan lagi sekadar persoalan menghafal, melainkan memahami dan mengolah informasi dengan bijak.
Dari barisan peserta, tampak ratusan guru dari berbagai jenjang — SD, SMP, hingga SMA — mencatat, berdiskusi, dan berdialog hangat. Mereka datang dengan harapan sederhana: agar setiap kelas di pelosok Belu kelak dapat menjadi ruang belajar yang setara dengan sekolah-sekolah di kota besar.
Sementara itu, Anita Jacoba Gah dengan nada tegas namun bersahabat menyampaikan pesan penting:
“Kemajuan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI), harus dimaknai sebagai sahabat, bukan ancaman. Guru wajib memahami cara memanfaatkannya untuk melahirkan pembelajaran yang kreatif dan berkualitas.”
Baginya, keberanian untuk belajar ulang adalah kunci agar dunia pendidikan tidak gagap menghadapi revolusi digital yang kini telah menyentuh seluruh sendi kehidupan.
Senada dengan itu, Dr. Yaya Sutarya menilai kolaborasi antara Komisi X DPR RI dan Kemendikdasmen bukan sekadar kerja birokratis, melainkan gerakan moral untuk memastikan tidak ada anak bangsa yang tertinggal.
“Sinergi ini adalah ikhtiar bersama agar setiap anak, dari kota hingga perbatasan, merasakan pendidikan yang berkeadilan dan bermutu,” ujarnya.
Dalam sesi-sesi yang berlangsung sepanjang hari, para narasumber dari kalangan akademisi dan praktisi pendidikan membawakan materi-materi aktual: dari pemanfaatan platform digital, penerapan AI dalam proses belajar-mengajar, hingga literasi digital bagi guru dan siswa.
Atmosfer workshop terasa hidup. Beberapa guru bahkan mengaku baru pertama kali mengenal aplikasi pembelajaran berbasis AI dan berkomitmen untuk menerapkannya di sekolah.
“Awalnya kami takut, tapi setelah melihat manfaatnya, kami justru bersemangat. Ternyata teknologi bisa menjadi sahabat pengajaran,” ungkap Maria Berek, seorang guru SMP dari Tasifeto Barat dengan senyum yang tulus.
Dari ruang pertemuan itu, Kabupaten Belu tampak menyalakan api kecil perubahan — api yang mungkin pelan, tapi pasti, akan membakar semangat baru di ruang-ruang kelas. Sebab di tangan para guru yang mau belajar, masa depan pendidikan Belu tak lagi gelap oleh keterbatasan, melainkan terang oleh pengetahuan dan keberanian menyesuaikan diri.
Laporan Khusus | LINTASTIMOR.ID –Suara Dari Perbatasan Menyuarakan Kebenaran dan perdamaian
















