Laporan khusu Redaksi
Di antara berkas-berkas kebijakan dan meja birokrasi yang kerap dingin, Kabupaten Belu kembali dipanggil untuk bermimpi. Bukan mimpi kosong, melainkan harapan yang ditawarkan dengan bahasa persahabatan: Sahabat Sejati. Sebuah visi yang tidak sekadar menjanjikan pembangunan, tetapi menghadirkan negara yang bekerja, mendengar, dan melayani.
Bupati Belu Wilybrodus Lay,S.H dan Wakil Bupati Belu Vicente Hornai Gonsalves menamai ikhtiar politik-pemerintahan mereka sebagai Program Sahabat Sejati—sebuah metafora tentang pemerintahan yang tidak berjarak, tidak bermenara gading, dan tidak membiarkan rakyat berjalan sendirian di lorong-lorong kesulitan.
Visi: Belu Lebih Maju, Negara Lebih Dekat
Visi besar yang mereka tawarkan sederhana namun menantang: Belu yang maju, mandiri, dan berkeadilan sosial, dengan pemerintahan yang hadir sebagai sahabat, bukan penguasa.
Dalam visi ini, birokrasi tidak lagi sekadar struktur, melainkan tangan yang bekerja. Kebijakan tidak berhenti sebagai dokumen, tetapi menjelma menjadi air bersih, jalan yang terbuka, sekolah yang hidup, dan layanan kesehatan yang manusiawi.
“Pemerintah harus berdiri di sisi rakyat, bukan di atas rakyat. Kami ingin memastikan bahwa setiap kebijakan menyentuh kehidupan nyata masyarakat Belu,” demikian pesan moral yang tertuang dalam arah kebijakan Sahabat Sejati.
Misi: Menjahit Pembangunan dari Pinggiran
Misi yang dirumuskan bergerak dari kesadaran akan luka lama: kemiskinan struktural, keterbatasan layanan dasar, dan ketimpangan wilayah. Maka, Sahabat Sejati menempatkan manusia Belu sebagai pusat pembangunan.
Pertama, memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih, profesional, dan melayani. Birokrasi dituntut tidak hanya patuh aturan, tetapi peka terhadap penderitaan warga.
Kedua, mempercepat pembangunan infrastruktur dasar—jalan, air bersih, listrik, dan permukiman—sebagai fondasi martabat hidup masyarakat perbatasan.
Ketiga, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, bukan sebagai angka statistik, tetapi sebagai investasi peradaban.
Keempat, mendorong ekonomi kerakyatan berbasis potensi lokal: pertanian, peternakan, UMKM, dan ekonomi kreatif agar rakyat menjadi pelaku, bukan penonton pembangunan.
Kelima, menjaga harmoni sosial, adat, dan nilai religius sebagai roh Belu yang multikultural dan berkarakter.
Sahabat Sejati: Politik yang Memanusiakan
Program Sahabat Sejati lahir dari kesadaran bahwa pembangunan tidak bisa dipaksakan dari balik meja rapat. Ia harus tumbuh dari dialog, dari mendengar keluhan petani, nelayan, ibu rumah tangga, dan kaum muda perbatasan.
“Kami tidak datang membawa janji surga. Kami datang membawa kerja nyata dan keberpihakan,” demikian spirit yang berulang ditegaskan dalam narasi visi-misi tersebut.
Dalam bahasa sastra pemerintahan, Sahabat Sejati adalah upaya menjinakkan kekuasaan agar kembali bersifat manusiawi—agar anggaran tidak kehilangan nurani, dan regulasi tidak kehilangan empati.
Belu Menunggu Pembuktian
Sejarah mencatat: visi dan misi adalah janji. Rakyat Belu kini berdiri sebagai saksi dan penilai. Apakah Sahabat Sejati akan menjelma menjadi praktik pemerintahan yang berani, jujur, dan konsisten—atau sekadar slogan di baliho kekuasaan.
Namun setidaknya, Belu telah diberi satu tawaran penting: harapan yang diucapkan dengan bahasa persahabatan, bukan ancaman kekuasaan.
Dan di tanah perbatasan ini, harapan selalu layak diperjuangkan.
















