Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
NasionalPeristiwaPolkamTeknologi

Bandara “Tanpa Negara” di Sulawesi: Ketika Kedaulatan Udara Dipertaruhkan

381
×

Bandara “Tanpa Negara” di Sulawesi: Ketika Kedaulatan Udara Dipertaruhkan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

OPINI | Agustinus Bobe, S.H., M.H.

Pengamat Hukum Transportasi Udara, Laut, dan Darat**

Polemik tentang bandara khusus di Sulawesi yang dikabarkan “beroperasi tanpa kehadiran aparatur negara” bukan hanya menciptakan kontroversi di media sosial, tetapi juga membuka perdebatan mendasar tentang bagaimana negara mengelola kedaulatan udara dan tata kelola transportasi nasional.

Example 300x600

Dalam perdebatan publik yang berkembang cepat, muncul berbagai persepsi—mulai dari kekhawatiran tentang potensi celah hukum hingga dugaan bahwa pengawasan negara dianggap minim. Namun terlepas dari detail versi mana yang paling akurat, satu hal pasti: bandara adalah objek strategis negara, sehingga setiap kabar tentang absennya fungsi negara di sana harus diperlakukan sebagai peringatan serius.

1. Kedaulatan Udara Tidak Bisa Diprivatisasi

Bandara, sekalipun berstatus “bandara khusus”, tetap berada di dalam ruang udara nasional yang sepenuhnya merupakan domain negara.
Karena itu, ada prinsip fundamental:

Tidak ada aktivitas penerbangan — apalagi yang berpotensi bersinggungan dengan rute internasional — yang boleh berjalan tanpa representasi negara.

Keberadaan negara ini bukan simbol, melainkan fungsi vital:

  • pengawasan lalu lintas orang dan barang,
  • keamanan penerbangan,
  • kepabeanan dan imigrasi (bila rute internasional),
  • penegakan standar keselamatan.

Jika salah satu saja absen, maka terbuka ruang risiko yang tidak seharusnya terjadi dalam manajemen transportasi modern.

2. Ketika Pengawasan Lemah, yang Terancam Bukan Hanya Regulasi – tetapi Kepercayaan Publik

Dalam jurnalisme, kita mengenal konsep social trust, yaitu kepercayaan publik terhadap institusi.
Kasus bandara ini memiliki dampak luas terhadap:

a. Kepercayaan pada pemerintah

Publik berhak mengetahui sejauh apa negara hadir dalam setiap infrastruktur strategis. Ketika muncul kesan bahwa swasta bisa menjalankan fasilitas aviasi tanpa pengawasan negara, publik mempertanyakan integritas tata kelola.

b. Keamanan transportasi

Standar keamanan tidak boleh dinegosiasikan. Tanpa aparatur negara, siapa yang memastikan proses screening, check, dan clearance berjalan sesuai standar keselamatan penerbangan sipil?

c. Integritas rantai logistik nasional

Pintu udara tanpa kontrol negara berpotensi menimbulkan kerentanan—bukan karena “pelaku tertentu”, tapi karena celah yang terbuka.

3. Kegagapan Regulasi dan Bahaya “Zona Abu-Abu”

Indonesia memiliki aturan jelas tentang:

  • bandara umum,
  • bandara khusus,
  • fasilitas udara yang boleh mengakses penerbangan internasional,
  • dan standar wajib bagi operator bandara.

Masalah muncul ketika implementasi di lapangan tidak sejalan dengan kerangka hukum.
Bandara khusus memang boleh dikelola swasta, tapi:

Pengawasan tetap mutlak menjadi urusan negara.

Jika terjadi kebingungan antara status “khusus”, “internasional”, atau “privat”, maka negara wajib mengklarifikasi secara terbuka dan tegas.

Ketidaktegasan bukan hanya menciptakan ketidakjelasan hukum, tetapi juga memberi ruang spekulasi yang mengganggu stabilitas opini publik.

4. Negara Tidak Boleh Menjadi Tamu di Rumahnya Sendiri

Inilah poin paling penting dalam argumen saya.

Saat publik mempertanyakan “di mana negara?”, kita sedang berhadapan bukan dengan isu teknis, tetapi isu prinsip:

  • Siapa mengendalikan pintu udara bangsa ini?
  • Seberapa kuat negara menjaga otoritasnya?
  • Apakah aturan memungkinkan munculnya ruang abu-abu?

Bandara adalah wajah negara.
Jika negara tampak tidak hadir, maka reputasi kedaulatan ikut dipertaruhkan.

5. Apa yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah?

Pertama, menegaskan kembali kehadiran negara di seluruh bandara khusus.

Tidak boleh ada satu pun bandara di Indonesia—apapun statusnya—yang beroperasi tanpa jejak administrasi, teknis, dan hukum dari negara.

Kedua, melakukan audit regulasi terbuka.

Audit internal diperlukan untuk memastikan tidak ada celah hukum yang memungkinkan operator salah menafsirkan kewenangan bandara khusus.

Ketiga, membuka data publik.

Transparansi adalah obat dari spekulasi. Negara perlu menjelaskan:

  • status bandara,
  • fungsi,
  • pengawasan,
  • dan batas-batas kewenangan operator.

Keempat, memastikan tidak ada “imunitas khusus” bagi operator manapun.

Di sektor transportasi, perlakuan khusus adalah awal dari ketidakadilan struktural.

6.  Bandara Bukan Sekadar Fasilitas – Ini Bentuk Kedaulatan

Dalam hukum transportasi udara, tidak ada istilah “bandara tanpa negara”.
Yang ada hanyalah bandara dengan pengawasan penuh atau bandara yang harus dihentikan operasionalnya sampai standar terpenuhi.

Narasi tentang “bandara yang seperti negara dalam negara” seharusnya menjadi alarm bagi kita semua bahwa:

Kedaulatan udara bukan hanya soal pesawat yang terbang, tetapi juga siapa yang mengatur langit itu.

Dan negara — bukan swasta, bukan operator — adalah satu-satunya pihak yang memiliki mandat konstitusional untuk menjaga langit Indonesia.

 

Example 300250