HUMBANG |LINTASTIMOR.ID)-Air datang tanpa suara. Dari lereng-lereng basah di Humbang Hasundutan, banjir bandang meluncur deras menuju Dusun Jagapayung, menyapu apa yang ditemuinya sepanjang Kamis pagi, 27 November 2025.
Di Desa Purba Baringin, tak ada yang sempat bersiap. Jalan terputus total, sawah hancur, rumah-rumah roboh, makam warga tergerus air, sebuah SD tenggelam hingga tak tampak lagi halaman depannya. Bahkan gereja HKI di dusun itu ikut menerima hantaman air bercampur lumpur.
Warga masih tertegun menyaksikan desa yang biasanya hijau berubah menjadi kubangan lumpur tebal.
“Kami hanya bisa menyelamatkan diri. Semua terjadi begitu cepat,”
ujar salah satu warga yang ditemui relawan, dengan suara masih gemetar.
Pakkat bukan wilayah yang asing dengan hujan deras, namun pagi itu berbeda. Air yang turun sepanjang malam membawa serta bongkahan kayu, tanah, dan batu, membentuk arus raksasa yang tak bisa ditahan.
Lahan pertanian—napas utama masyarakat—luruh seketika. Sawah-sawah yang harusnya siap memasuki masa panen kini rata seperti halaman kosong yang tak lagi mengenali benihnya sendiri. Di antara reruntuhan, pupus pula harapan para petani untuk hasil panen tahun ini.
“Musim ini kami terancam gagal panen total,”
kata seorang petani tua sambil memandangi petaknya yang tinggal lumpur.
Di ujung dusun, bangunan sekolah dasar tampak seperti maket yang direndam air. Meja dan kursi terapung, buku-buku rusak, dan papan tulis yang masih menyimpan tulisan pelajaran sehari sebelumnya. Di gereja HKI, lumpur menutup hampir seluruh halaman, menyisakan pintu yang miring diterjang arus.
Namun di tengah kerusakan itu, warga tetap berpegang pada satu hal: kebersamaan. Warga, relawan, aparat desa, dan jemaat gereja saling bergandengan tangan mencari korban yang selamat, menyelamatkan barang apa pun yang masih mungkin diangkat.
“Yang hilang bisa dicari, yang roboh bisa dibangun kembali. Yang penting kami masih bersama,”
ucap seorang guru yang kembali ke sekolahnya setelah air surut.
Tak ada yang tahu berapa lama Pakkat akan pulih. Tetapi setiap bencana selalu meninggalkan dua hal: luka dan pelajaran. Dan hari ini, dari Jagapayung, kabar itu datang dengan getir—bahwa alam tidak lagi bisa ditebak, namun manusia selalu bisa memilih untuk bangkit.
















