Pagi itu, di Lapangan Desa Panggunan, suara komando menggema di antara bau lumpur dan pohon tumbang.
SUMUT |LINTASTIMOR.ID) –
Sabtu pagi, 29 November 2025, udara di Kecamatan Pakkat masih basah oleh ingatan malam panjang yang tak sempat diantisipasi. Bupati Humbang Hasundutan, Dr. Oloan Nababan, S.H., M.H, berdiri tegak di samping Kapolres, AKBP Arthur Sameaputty, S.I.K., memimpin apel siaga tanggap darurat dengan sorot mata yang menyimpan urgensi kemanusiaan.
Di hadapan mereka, puluhan personel TNI–Polri, Basarnas, BPBD, Tagana, dan PMI berdiri berbaris—bukan untuk seremoni, tetapi untuk sebuah misi yang masih terbuka: mencari dua nyawa lagi yang belum pulang.
Di sela apel, Bupati menegaskan dengan nada yang menggantung di udara dingin Pakkat:
“Kita kehilangan lima warga. Tiga sudah ditemukan. Dua lagi masih menunggu kita. Kita harus siap 24 jam, saling membantu, saling melihat, jangan ada yang terlewat.”
Kata-kata itu jatuh pelan, tetapi mengguncang. Di tanah yang masih basah oleh air bah, kesiapsiagaan bukan lagi slogan—melainkan kewajiban moral.
Banjir yang Datang Secepat Nafas yang Tersengal
Kepala Desa Panggugunan, Rinding Sibagariang, adalah saksi malam itu.
Dini hari, pukul 03.00 WIB, 26 November 2025, desa kecil ini digulung suara gemuruh yang “seperti bumi sedang membelah diri”. Ia menceritakan dengan nada yang setengah percaya, setengah masih trauma:
“Air datang sangat cepat. Warga tak sempat selamatkan apa pun. Batu-batu besar, kayu-kayu besar, semuanya menghantam rumah.”
Banjir bandang itu adalah yang terparah dalam beberapa tahun terakhir—lebih liar, lebih brutal, dan lebih tak terduga. Desa yang biasanya sunyi berubah menjadi lorong air deras, membawa lumpur, bebatuan, dan serpihan kehidupan.
Warga kini diungsikan ke tempat aman, menunggu himbauan pemerintah sambil memandangi rumah mereka yang tinggal kerangka.
Lapangan yang Menjadi Ruang Strategi dan Doa
Apel digelar di lapangan yang kini berubah menjadi pusat koordinasi.
Perahu karet telah dipompakan. Tenda pengungsian tegak tanpa banyak kata. Logistik disortir. Kendaraan operasional disiagakan. Posko pengaduan berdiri untuk warga yang membutuhkan arah di tengah kekacauan.
Di tempat itu, garis antara militer, polisi, relawan, dan warga hilang—semuanya menjadi satu: manusia yang menolong manusia lain.
Refleksi di Tengah Bencana: Ketika Alam Menuntut Perhatian
Di balik operasi penanggulangan ini, ada tanya yang menggantung:
Seberapa siap kita ketika alam memutuskan untuk berubah arah?
Humbang Hasundutan adalah wilayah berbukit, berlembah, dan rentan terhadap curah hujan ekstrem. Namun kesiapsiagaan sering kali baru penuh ketika malapetaka sudah terjadi.
Bencana tak pernah datang hanya sebagai peristiwa, tetapi juga sebagai peringatan: bahwa tata ruang, ekologi, dan kesiapan harus menjadi percakapan yang lebih lantang.
Di tanah yang retak dan becek ini, manusia diuji bukan oleh alam saja, tetapi juga oleh kapasitasnya untuk peduli, terkoordinasi, dan tidak terlambat.
Mencari yang Belum Kembali
Meski status tanggap darurat ditetapkan untuk tiga hari, waktu terasa bergerak lebih cepat daripada air yang datang malam itu. Petugas terus menyusuri sisa-sisa puing, lumpur, dan batang kayu. Bau tanah basah bercampur dengan ketegangan.
Hingga berita ini ditulis, dua warga masih belum ditemukan.
Dan para pencari itu tahu: setiap menit mungkin berarti hidup atau kepergian abadi.
Cuaca ekstrem masih mengancam. Warga dihimbau tetap waspada. Di balik semua kepanikan, satu hal tetap hidup: harapan—rapuh, tapi belum padam.
Desa Panggunan, dalam sepekan terakhir, telah berubah dari ruang tenang menjadi babak baru kemanusiaan.
Di sana, di antara serpihan kayu dan batu besar yang dibawa banjir, ada pelajaran yang tidak boleh dilupakan:
Bencana datang cepat. Tanggung jawab manusia harus datang lebih cepat.
















