Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
InternasionalNasionalPeristiwaPolkam

Antara Kupang dan Dili: Ketika Wisatawan Tetangga Disambut Rasa Cemas

98
×

Antara Kupang dan Dili: Ketika Wisatawan Tetangga Disambut Rasa Cemas

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Perbatasan seharusnya menjadi jembatan, bukan ruang keketakutan.

KUPANG |LINTASTIMOR.ID)-Kursi-kursi diplomasi di Ruang Kerja Gubernur NTT, Selasa siang, 9 Desember 2025, tampak lebih hening dari biasanya. Yang datang bukan rombongan protokol tinggi, melainkan tiga orang yang membawa suara sunyi dari seberang garis imajiner negara: Konsul Republik Demokratik Timor Leste, Espedito da Conceicao Ribeiro, Sekretaris III Konsulat Cesaltina da Costa da Silva, dan staf konsulat, Sarce Kabosul.

Example 300x600

Silaturahmi, kata resmi protokoler. Namun di baliknya, ada percakapan yang tak bisa ditunda—tentang ketakutan yang tumbuh dari jalan raya Kupang dan Atambua, bukan dari perselisihan negara, melainkan dari debt collector yang menodai ruang wisata, ruang tetangga, ruang persaudaraan lintas sejarah.

“Para wisatawan kami datang untuk berbelanja dan menikmati Natal di Kupang, bukan untuk dikejar rasa cemas,” ucap Cesaltina, pelan namun tegas, seolah setiap suku kata adalah ketukan pintu diplomasi yang menuntut kesantunan baru dari Indonesia bagi tamunya.

Kupang, menjelang Desember, biasanya seperti rumah besar yang tak pernah tidur. Lampu-lampu toko bersinar sampai dini hari, hotel penuh, jalan jemput wisatawan menuju Atambua tak pernah lengang. Mereka datang dari Timor Leste bukan sekadar membawa dokumen kendaraan resmi, tetapi memori masa lalu ketika batas negara tidak memutus persaudaraan.

Namun kini, romansa perlintasan itu tergores. Bukan oleh cuaca, bukan oleh politik, melainkan oleh tangan-tangan liar yang mengatasnamakan penagihan, perampasan, intimidasi. Ironisnya, semua terjadi pada kendaraan berplat tetangga yang sejatinya ikut menghidupkan ekonomi NTT.

“Ini bukan isu teknis, ini menyangkut martabat hubungan dua bangsa,” bisik seorang pejabat pendamping, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang hadirin, seolah sadar bahwa persoalan ini jauh lebih dalam daripada sekadar dokumen dan bukti pembayaran.

Pihak Konsulat RDTL juga mengutarakan rencana perayaan ulang tahun Presiden José Ramos-Horta di Timor Tengah Selatan, memohon dukungan pengamanan dari pemerintah provinsi. Bukan semata soal seremonial, tetapi demi menegaskan bahwa perdamaian lintas batas tidak boleh retak oleh gangguan internal yang tak berwajah diplomasi.

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, menerima seluruh keluhan itu tanpa membantah, tanpa retorika. Sore itu ia hanya menyampaikan kalimat yang sederhana namun berat:

“NTT harus menjadi tempat yang aman bagi siapa pun yang datang melalui pintu perbatasan, terutama saudara sendiri.”

Ia berjanji menertibkan, memastikan bahwa jalan raya Kupang hingga Atambua kembali menjadi milik publik, bukan panggung para pemburu kendaraan. Bahwa wisatawan dari Timor Leste boleh kembali membawa belanjaan, bukan trauma.

Di ujung pertemuan, tak ada pernyataan politik, tak ada gimik persahabatan. Hanya tatapan saling memahami: bahwa perbatasan, betapapun tegas garis tinta pada peta, tetap memerlukan bahasa damai untuk dirawat—bahasa yang tidak menghalangi kendaraan, tidak mengintimidasi turis, tidak mempermalukan tetangga.

Karena pada akhirnya, Kupang dan Dili tidak benar-benar dipisahkan oleh geopolitik. Mereka hanya menunggu satu hal: kepastian bahwa persaudaraan regional lebih kuat daripada rasa takut di jalan raya.

Dan diplomasi, pada hari itu, perlahan kembali belajar berjalan—pelan, tetapi tidak lagi dibayangi sirene penagih.

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.idEditor: Agustinus Bobe