INGGRIS RAYA |LINTASTIMOR.ID)-Seratus dua nyawa melayang.Ratusan luka. Ribuan mengungsi. Di balik statistik bencana di Tapanuli Raya akhir 2025, tersembunyi narasi yang lebih panjang tentang izin yang dikunyah, hutan yang dicukur, dan sungai yang diracuni. Dari kejauhan Inggris Raya, seorang pegiat sosial menyusun petisi bukan dengan amarah kosong, melainkan dengan data dan duka yang terukur.
“Bencana ini bukan sekadar air yang naik atau tanah yang ambles. Ia adalah puisi kesedihan alam yang terlalu lama dipaksa diam, akhirnya meledak dalam bentuk duka yang terhitung: 102 bait kematian, ribuan bait pengungsian. Setiap angka adalah sebuah nama; setiap nama adalah sebuah dunia yang runtuh.”
Dari balik jendela di Inggris yang seringkali diselimuti kabut, Serli Napitu memandangi data dan laporan dari tanah kelahirannya. Jarak ribuan kilometer tidak meredam getar pilu; justru mempertajam fokusnya pada pola-pola kerusakan yang berulang. Bencana di Tapanuli Tengah, yang mencatatkan 102 korban jiwa dan memaksa ribuan lainnya menjadi pengungsi di penghujung 2025, baginya bukanlah peristiwa insidental. Ia adalah titik puncak dari sebuah kurva grafik yang sudah lama menanjak: grafik deforestasi, pencemaran, dan pelanggaran.
Dengan ketelitian seorang peneliti dan kepedihan seorang anak bangsa, Serli merangkai petisinya bukan sebagai teriakan, melainkan sebagai laporan kesaksian yang padat data. Ia menyebutkan ‘deforestasi masif’—istilah teknis yang dalam realitanya berarti hilangnya riuh rendah Siamang, pudarnya warna-warni burung endemik, dan mengeringnya sumber-sumber kehidupan masyarakat adat. Sungai yang tercemar, dalam datanya, diterjemahkan sebagai peningkatan kasus penyakit kulit dan gagal panen di kampung-kampung yang dulu jernih airnya.
Konflik agraria dan indikasi pelanggaran AMDAL bukan lagi sekadar isu hukum abstrak. Mereka adalah cerita tentang peta wilayah adat yang kian menyusut, tentang dokumen izin yang lebih perkasa daripada rimbunnya pohon sialang tempat lebah bersarang. Potensi bencana ekologis yang ia sebut telah berubah menjadi kenyataan yang pahit: longsor yang mengubur bukan hanya tanah, tapi juga sejarah dan mata pencaharian.
Permohonannya kepada Presiden Prabowo Subianto dirumuskan dalam enam butir yang tegas, layaknya enam poin utama dalam sebuah kesimpulan penelitian kritis. Dari evaluasi menyeluruh perizinan hingga penegakan hukum yang tak pandang bulu; dari pemulihan lingkungan—di mana perusahaan pelaku harus menanggung bebannya—hingga perlindungan bagi masyarakat adat. Semua ditujukan untuk satu tujuan: membalikkan grafik kerusakan itu. Mengubah tren menjadi garis yang menurun, menuju pemulihan.
“Bapak Presiden,” tulisnya, dengan keyakinan yang tersaring dari kejauhan, “dengan kepemimpinan tegas dan komitmen kuat… kerusakan ini dapat dihentikan dan dipulihkan.”
Surat yang bermula dari kesedihan atas angka-angka statistik bencana itu, pada akhirnya, adalah sebuah narasi harapan. Sebuah permintaan agar pembangunan tidak lagi dicatat sebagai angka pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga dihitung berdasarkan kesehatan sungai, kelestarian hutan, dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Sebuah seruan agar keindahan alam Sumatera Utara—dari pesisir Tapanuli hingga pinggiran Danau Toba—tidak hanya menjadi cerita sastra dalam buku, tetapi tetap menjadi rumah yang hidup dan nyaman bagi generasi mendatang.
Hormatnya,
Sebuah Suara dari Jauh yang Masih Mendengar Rintik Hujan dan Tangisan Tanah Air.
















