TIMIKA, [LINTASTIMOR.ID] —
Di balik lembaran anggaran yang terus digelontorkan setiap tahun, persoalan tapal batas Kabupaten Mimika justru tak kunjung menemukan garis akhir. Ananias Faot, Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Mimika, menyebut kondisi ini ibarat jejak di pasir pantai—selalu ditulis, tapi hilang disapu gelombang waktu.
“Kami anggarkan terus tiap tahun, sejak 2010, tetapi masalah tapal batas ini seperti berdiri di tempat. Tak ada titik temu yang pasti,” ujar Ananias dengan nada getir usai rapat di Timika, Rabu (24/7/2025).
Ia menegaskan bahwa pihaknya akan merevisi Surat Keputusan (SK) Tim Tapal Batas yang diterbitkan sejak 2010—dokumen yang menurutnya kini sudah tidak relevan secara personil maupun secara substansi. Beberapa pejabat dalam SK itu telah wafat, termasuk penandatangan pertamanya, mendiang Klemen Tinal.
“Almarhum Pak Klemen yang tandatangani SK itu. Kini beliau sudah tiada. Begitu juga beberapa anggota tim yang lain. Maka saatnya kita susun ulang—dengan napas baru dan komposisi yang lebih menyeluruh,” ucapnya.
Ananias menyoroti bahwa dalam SK lama itu, unsur legislatif tidak dilibatkan secara resmi. Padahal, keterlibatan DPRK Mimika menjadi penting sebagai kekuatan politik dan representasi rakyat.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa konflik tapal batas yang belum terselesaikan seperti dengan Kabupaten Dogiyai dan Deyai bukan hanya menciptakan sengketa administratif, tetapi juga menyebabkan penyusutan wilayah secara de facto.
“Mimika ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Tahun 1999. Tapi kalau kita lihat peta hari ini, seolah-olah kabupaten ini mengecil. Ada yang ‘menggerus’ tanpa disadari,” katanya, sembari menyiratkan harapan agar Pemerintah Provinsi Papua Tengah lebih proaktif.
Menurut Ananias, idealnya Gubernur Papua Tengah harus mengambil peran memfasilitasi pertemuan antar daerah. “Karena tapal batas ini bukan sekadar garis di peta. Ia menyangkut jati diri, sejarah, dan masa depan masyarakat yang mendiami setiap jengkalnya,” ungkap dia.
Suara dukungan datang dari Komisi I DPRK Mimika. Esterika Komber, salah satu anggotanya, mengingatkan bahwa penyelesaian batas wilayah adalah tugas mendesak yang tidak boleh ditunda-tunda.
“Ini soal harga diri daerah. Harus segera ditindaklanjuti. Jangan dibiarkan terus mengambang seperti langit mendung yang tak pernah hujan,” ujar Esterika lirih.
Senada, anggota Komisi I lainnya, Iwan Anwar, menekankan pentingnya pelibatan dewan dalam pembentukan ulang tim tapal batas. Ia mengingatkan bahwa batas administratif Mimika sejatinya telah ada sejak masa kolonial.
“Revisi SK itu penting. Tapi yang lebih penting adalah menyertakan kami—DPRK—agar penyelesaian ini tidak sekadar wacana, tetapi menjadi kebijakan yang berpijak pada sejarah dan masa kini,” tegasnya.
Mimika, tanah yang dibingkai sejarah dan perjuangan, kini menanti hadirnya tim terpadu—yang tak sekadar duduk di ruang ber-AC dan memelototi peta, melainkan menyatu dengan denyut warga di batas-batas sunyi. Sebab sejatinya, garis wilayah bukan hanya ditarik dengan pena, tapi juga dengan nurani dan niat baik.