Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaKesehatanNasional

Anggaran 1,2 Miliar: Janji di Perbatasan

7
×

Anggaran 1,2 Miliar: Janji di Perbatasan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

ATAMBUA |LINTASTIMOR ID)-Di Atambua, angka bukan sekadar hitungan rupiah—melainkan jarak yang harus dijembatani antara kemiskinan, perlindungan migran, dan campur tangan negara.

Example 300x600

Analitik Anggaran Migrasi Aman

Gedung Wanita Betelalenok, Selasa siang itu, menjadi ruang di mana persoalan migrasi tidak lagi dibicarakan sebagai arus keluar, tetapi sebagai urusan martabat. Bupati Belu, Willybrodus Lay, menautkan kemiskinan, anggaran, dan perbatasan dalam satu kalimat yang terdengar tegas, sekaligus meminta agar pusat tak lagi memandang Belu sekadar pinggir republik.

Belu bukan statistik, tetapi wajah ribuan keluarga yang memilih migrasi sebagai satu-satunya pintu ekonomi.

“Pemerintah Kabupaten Belu tidak bisa berjalan sendiri. Ini tanggung jawab bersama semua komponen, stakeholder, dari pusat hingga daerah.”
Bupati Willy Lay

Di atas podium, Willy Lay mengurai dengan tenang namun berlapis kegelisahan: 46,86% warga berada di desil miskin prasejahtera. Angka itu tidak hanya menunjukkan keterbatasan, tetapi juga ironi bahwa daerah yang disebut beranda NKRI telah lama menanggung kesunyian anggaran.

Untuk itulah, Belu mempertaruhkan komitmen fiskal. Tahun 2025, Rp 571 juta dialokasikan untuk pelatihan kerja menuju Jepang; Rp 100 juta untuk perlindungan jaminan sosial pekerja rentan, dari tukang ojek hingga calon PMI yang bahkan belum menginjak bandara.

Kebijakan tersebut tidak berhenti di pos anggaran. Ia akan naik peringkat menjadi Rp 1,2 miliar di tahun 2026, mengikat 4.300 jiwa dalam payung perlindungan sosial dan kompetensi.

Rupiah itu bukan hadiah, melainkan perisai agar anak-anak Belu tidak lagi berangkat tanpa bekal bahasa, tanpa legalitas, tanpa asuransi.

Pada sesi berikutnya, Willy Lay membuka data penempatan: 427 jiwa meninggalkan Belu dalam dua tahun terakhir—sebagian besar menuju Malaysia, sisanya Singapura dan Hong Kong. Mereka mencari gaji, keamanan, dan harapan yang di desa tak dijanjikan.

Di hadapan Wamen P2MI, Cristina Aryani, Bupati mengundang agar pusat menengok 56 calon pekerja yang tengah menekuni bahasa Jepang. Pendidikan itu bukan sekadar kurikulum, melainkan upaya agar anak-anak Belu tidak lagi menjadi korban penipuan perekrut bayangan.

Namun kemudian, satu data mulai menebarkan bayangan lain: pengurangan TKD sebesar Rp 105 miliar untuk tahun berikutnya. Sebuah pengurangan yang bagi daerah biasa mungkin terasa koreksi, tetapi bagi wilayah perbatasan terdengar seperti pemutusan oksigen pembangunan.

“Pengurangan TKD ini berdampak serius terhadap pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan NKRI–Timor Leste.”
Bupati Willy Lay

Kalimat itu datang tidak sebagai protes kosong, tetapi sebagai seruan agar pusat mengingat: perbatasan adalah wajah negara, bukan kaki yang dibiarkan berjalan sendiri.

Di Atambua, rupiah menjadi metafora perlindungan. Migrasi bukan lagi dipandang sebagai pelarian ekonomi, tetapi sistem yang harus ditata, diawasi, dan dibiayai dengan serius.

Dan pada akhirnya, ketika perbatasan meminta intervensi, ia tidak sedang memohon—melainkan mengingatkan bahwa negara berkewajiban hadir di titik terjauh garis republik, tempat bendera berkibar berdiri paling dekat pada angin Timor Leste.

Example 300250