Oleh: Agustinus Bobe, S.H, M.H
Praktisi Hukum Militer
Pendahuluan
Dalam sistem peradilan militer Indonesia, proses penegakan hukum terhadap prajurit TNI diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer).
Salah satu isu penting yang kerap muncul adalah batas waktu penahanan tersangka, keterlambatan pelimpahan berkas ke pengadilan, serta hubungan antara proses etik dan pidana terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana berat seperti pembunuhan.
Sering kali masyarakat bertanya, mengapa pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polisi Militer (POM) belum segera disidangkan, padahal masa penahanannya sudah lama berjalan?
Apakah karena masih menunggu sidang kode etik?
Ataukah karena unsur hukum pidana belum terpenuhi?
Tulisan ini memberikan analisis hukum secara komprehensif mengenai mekanisme penahanan, proses penyidikan dan pelimpahan perkara, serta posisi kode etik dalam sistem peradilan militer.
1. Dasar Hukum Penahanan dalam KUHAP Militer
Berdasarkan Pasal 76 sampai Pasal 87 UU Nomor 31 Tahun 1997, mekanisme penahanan dalam peradilan militer memiliki prinsip yang sama dengan KUHAP umum, tetapi berbeda dari segi pejabat yang berwenang.
Tahap Penyidikan
Pasal 76 ayat (1): Penyidik Polisi Militer berwenang menahan tersangka selama 20 hari.
Pasal 76 ayat (2): Dapat diperpanjang oleh Oditur Militer selama 30 hari.
Total penahanan di tahap penyidikan: 50 hari.
Tahap Penuntutan dan Persidangan
Setelah berkas dinyatakan lengkap (P-21), Oditur Militer dapat memperpanjang penahanan 30 hari, dan Hakim Pengadilan Militer dapat memperpanjang lagi 60 hari untuk kepentingan sidang.
Total kumulatif sebelum sidang dimulai: ±110 hari.
Apabila penahanan melebihi batas waktu tersebut, maka penahanan menjadi tidak sah menurut hukum, dan tersangka wajib dibebaskan demi hukum (Pasal 24 ayat (4) KUHAP jo. Pasal 24 UU 31/1997).
Namun, pembebasan dari penahanan tidak berarti bebas dari dakwaan. Proses hukum tetap berjalan apabila unsur pidana dan alat bukti telah terpenuhi.
2. Konsekuensi Hukum Bila Penahanan Melebihi Batas Waktu
Pelepasan karena masa penahanan telah habis tidak menghapus tanggung jawab pidana.
Artinya:
Tersangka dibebaskan dari tahanan,
Tetapi perkara tetap berlanjut sampai ada putusan pengadilan.
Pelanggaran batas waktu penahanan hanya berdampak pada sah atau tidaknya penahanan, bukan pada substansi perkara pidana.
Namun dari sisi hak asasi tersangka, hal ini bisa menjadi objek pra peradilan militer untuk menguji sah atau tidaknya penahanan atau penghentian penyidikan.
3. Keterlambatan Pelimpahan Berkas oleh Polisi Militer (POM)
Jika dalam waktu 60 hari penyidik belum melimpahkan berkas ke pengadilan, ada sejumlah faktor penyebab, baik yuridis maupun administratif:
Faktor Penjelasan Belum lengkapnya unsur delik pidana. Misalnya, belum jelas hubungan sebab akibat antara tindakan pelaku dengan kematian korban.Kurangnya alat bukti atau keterangan ahli Dalam peradilan militer, pembuktian harus kuat dan lengkap, termasuk visum, hasil labfor, dan keterangan saksi militer.
Koordinasi antar lembaga hukum militer POM, Oditurat, dan Komando Atasan memiliki garis komando berbeda sehingga koordinasi administratif sering lambat.
Pertimbangan disiplin atau etik militer Kadang terjadi perdebatan apakah perbuatan masuk ranah pidana atau cukup diproses melalui disiplin militer.
4. Posisi Kode Etik dan Disiplin dalam Sistem Hukum Militer
Dalam sistem hukum TNI, terdapat tiga bentuk pelanggaran utama:
Jenis PelanggaranProsesLembagaPelanggaran DisiplinSidang DisiplinKomandan SatuanPelanggaran Kode Etik (Etika Perwira/Profesi)Dewan Kehormatan Perwira (DKP)DKP atau Dewan EtikTindak Pidana Militer/Umum oleh PrajuritProses KUHAP Militer (penyidikan–penuntutan–pengadilan)POM → Oditurat → Dilmil
Untuk tindak pidana berat seperti pembunuhan, kasus langsung masuk ranah pidana militer, bukan sidang kode etik.
Sidang etik baru dilakukan setelah atau bersamaan dengan proses hukum untuk menentukan sanksi kedinasan, seperti pemberhentian tidak hormat, penurunan pangkat, atau pencabutan jabatan.
5. Mengapa Seolah Proses Hukum Terlambat Karena “Menunggu Etik”
Dalam praktik, masyarakat sering melihat keterlambatan pelimpahan perkara karena seolah menunggu sidang etik. Padahal penyebabnya antara lain:
Aspek komando:
Penyidik POM tidak bisa langsung melimpahkan perkara tanpa izin Komando Atasan (Dansat, Danrem, Pangdam).
Status jabatan tersangka:
Untuk perwira menengah/tinggi, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) kadang perlu lebih dulu bersidang untuk menonaktifkan pelaku dari jabatannya sebelum pelimpahan ke pengadilan.
Koordinasi antar lembaga hukum militer:
POM, Oditurat, dan Dilmil berada dalam struktur berbeda (TNI AD, Kejaksaan Militer, dan Peradilan Militer), sehingga koordinasi administrasi sering lambat.
Kelengkapan alat bukti:
Dalam kasus berat seperti pembunuhan, penyidik wajib menyiapkan bukti yang kuat, termasuk visum, forensik, dan rekonstruksi TKP.
6. Prinsip Hukum: Proses Etik Tidak Boleh Menghambat Proses Pidana
Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 menyatakan:
“Penyidik wajib segera melakukan penyidikan apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup mengenai terjadinya tindak pidana oleh prajurit.”
Artinya, tidak ada alasan etik atau administratif yang dapat dijadikan dasar untuk menunda proses hukum pidana.
Kode etik dan disiplin adalah urusan moral dan jabatan, sementara pidana menyangkut keadilan publik dan tanggung jawab negara terhadap korban.
Menunda proses hukum dengan alasan etik justru melanggar prinsip due process of law dan mencederai hak korban atas keadilan.
7. Jika Kasus Dihentikan (SP3): Langkah Hukum Keluarga Korban
Sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 80 UU 31/1997, penyidikan dapat dihentikan (SP3) bila:
Tidak cukup bukti,
Peristiwa bukan tindak pidana,
Atau penyidikan tidak layak dilanjutkan.
Keluarga korban berhak menempuh langkah:
Mengajukan Pra Peradilan Militer (Pasal 143 UU 31/1997).
Untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan.
Mengadu ke Oditurat Jenderal TNI (Ojen TNI).
Sebagai pengawas tertinggi, Ojen TNI dapat memerintahkan penyidikan ulang.
Melapor ke Panglima TNI atau Komando Atas.
Berdasarkan prinsip komando, atasan dapat memerintahkan agar perkara dilanjutkan jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana.
8. Pandangan Praktisi
Sebagai praktisi hukum militer, saya berpandangan bahwa:
Dalam kasus pembunuhan oleh prajurit TNI, proses pidana harus menjadi prioritas utama, bukan sidang etik.
Kode etik bersifat administratif, sedangkan pidana adalah upaya menegakkan keadilan publik.
Menunda pelimpahan berkas dengan alasan menunggu DKP atau sidang etik adalah bentuk distorsi hukum militer yang berpotensi mengaburkan kepastian hukum.
Profesionalisme aparat hukum TNI diukur bukan dari seberapa kuat mereka menjaga wibawa komando, tetapi dari seberapa cepat dan adil mereka menegakkan hukum tanpa pandang pangkat dan jabatan.
Kesimpulan
Batas maksimal penahanan dalam peradilan militer adalah ±110 hari.
Jika terlampaui, tersangka harus dibebaskan demi hukum, tetapi proses pidana tetap berjalan.
Keterlambatan pelimpahan berkas umumnya disebabkan oleh faktor administratif, koordinasi antar lembaga, atau proses nonaktif jabatan, bukan karena sidang etik wajib didahulukan.
Kasus pembunuhan oleh prajurit langsung masuk ranah pidana militer tanpa harus melalui sidang kode etik terlebih dahulu.
Kode etik dan DKP berfungsi menentukan kelayakan moral dan kedinasan, bukan sebagai prasyarat pidana.
SP3 tidak menutup hak korban untuk menuntut keadilan melalui pra peradilan militer dan mekanisme pengawasan Oditurat Jenderal TNI.
Penutup
Keadilan di lingkungan militer hanya akan tegak bila hukum berdiri di atas disiplin, bukan di bawahnya.
Hukum pidana adalah instrumen negara untuk menegakkan keadilan, sementara kode etik adalah cermin moral institusi.
“Keadilan militer tidak boleh menjadi instrumen perlindungan bagi pelaku, melainkan pelindung bagi hukum dan korban. Menegakkan hukum tanpa tunduk pada komando adalah bentuk tertinggi dari loyalitas terhadap negara dan sumpah prajurit.”