ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID]-Ada pagi yang berbeda di Gedung Wanita Betelalenok, Senin, 22 Desember 2025. Bukan sekadar seremoni birokrasi, bukan pula rutinitas tahunan yang berlalu tanpa gema. Di ruang itu, kata-kata sumpah diucapkan dengan nada yang lebih berat dari biasanya—karena sejarah kecil sedang ditulis: sejarah tentang kepercayaan, tanggung jawab, dan harapan yang dititipkan kepada nama-nama manusia biasa, yang kini dipanggil oleh jabatan.
Pelantikan dan pengukuhan Aparatur Sipil Negara Lingkup Pemerintah Kabupaten Belu hari itu bukan hanya soal rotasi kursi. Ia adalah upaya menyuntikkan darah segar ke tubuh pemerintahan; sebuah ikhtiar agar roda pelayanan publik tidak sekadar berputar, tetapi bergerak maju dengan kesadaran baru.
Jabatan sebagai Amanah, Bukan Mahkota
Di hadapan para pejabat yang dilantik—Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II) dan 21 Pejabat Administrator—terasa jelas bahwa jabatan bukanlah hadiah, melainkan panggilan. Setiap nama yang disebut bukan hanya dicatat dalam berita acara, tetapi dititipkan ke dalam ingatan publik.
Yoos Sudarso Dami kini memikul urusan peternakan dan perikanan, sektor yang bersentuhan langsung dengan dapur rakyat. Johannes Andes Prihatin mengemban peran sebagai Staf Ahli Bupati, menjaga agar kebijakan tetap berpijak pada hukum dan nurani. drg. Maria Ansilla F. Eka Mutty berdiri di garis depan kebencanaan—tempat waktu sering berpacu dengan nyawa. Maria Deventy Atok menjaga ketertiban, Simplisius Vinsen Dalung mengawal arus informasi, dan Robertus Yeremias Mali merawat lingkungan serta denyut perhubungan.
Mereka tidak hanya berganti jabatan; mereka berganti sudut pandang tentang tanggung jawab.
Birokrasi yang Menyentuh Wajah Manusia
Pelantikan ini lahir dari proses evaluasi mendalam, sebagaimana diamanatkan regulasi. Namun, lebih dari sekadar kepatuhan hukum, penyegaran ini menyimpan pesan moral: birokrasi tidak boleh dingin. Ia harus memiliki wajah manusia.
Nama-nama camat, sekretaris kecamatan, kepala bagian, dan kepala bidang yang dilantik hari itu adalah wajah-wajah yang akan ditemui masyarakat di kantor kecamatan, di ruang pelayanan, di saat warga datang dengan harapan dan keluhan. Dari Tasifeto Barat hingga Lamaknen, dari urusan pemerintahan hingga kesehatan masyarakat, denyut negara terasa di meja-meja kerja mereka.
Sumpah yang Tak Boleh Dilupakan
Sumpah jabatan selalu diucapkan dengan kalimat yang sama, tetapi maknanya berbeda pada setiap zaman. Hari ini, sumpah itu diuji oleh kecepatan informasi, tuntutan transparansi, dan kelelahan publik terhadap janji kosong. Maka sumpah bukan lagi hafalan, melainkan kompas moral.
“Jabatan ini bukan tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling bertahan melayani,” ujar seorang pejabat seusai pelantikan, lirih namun tegas—sebuah kalimat yang menggantung lama di udara, seperti doa yang belum selesai.
Harapan yang Tidak Ingin Dikhianati
Kabupaten Belu menaruh harapan besar pada barisan ini. Harapan agar kebijakan tidak terjebak di meja rapat, tetapi turun ke ladang, ke pasar, ke sekolah, dan ke lorong-lorong desa. Harapan agar kekuasaan tidak menjauhkan, tetapi mendekatkan.
Di Gedung Wanita Betelalenok, hari itu, kita menyaksikan lebih dari sekadar pelantikan. Kita menyaksikan janji yang diucapkan di hadapan Tuhan, negara, dan rakyat. Janji yang kelak akan ditagih, bukan oleh sejarah besar, tetapi oleh warga yang datang dengan satu pertanyaan sederhana: apakah negara hadir untuk kami?
Dan di sanalah ujian sesungguhnya dimulai.
















