ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-
Di perbatasan Motaain RI— Timor Leste tempat dua negara saling menyapa tanpa suara—seorang bapak menghembuskan napas terakhirnya. Jumat, 19 Desember 2025, perjalanan yang seharusnya berakhir di rumah justru berhenti di tanah netral, di antara palang dan sunyi, di antara izin dan larangan, di antara hidup yang melemah dan pertolongan yang terlambat.
Kesaksian dari Jarak
Lurdis Tilman Piris, saksi mata, mengingatnya bukan sebagai nama, melainkan sebagai tubuh yang tiba-tiba kehilangan tegak. Bapak itu—kata Lurdis—berasal dari Kabupaten Alor, menempuh perjalanan dari Timor Leste menuju Indonesia. Ia turun dari kendaraan travel, lalu jatuh pingsan. Waktu seolah berhenti, dan manusia-manusia di sekitarnya menjadi penonton yang tak berdaya.
Ia diangkat ke sebuah lorong. Nafas masih ada—tipis, rapuh, namun nyata. Petugas Timor Leste sempat memeriksa tekanan darah. Tidak ada pertolongan medis lanjutan. Hanya kipas yang mengusir panas, seakan angin bisa menawar waktu.
“Kami tidak diizinkan mendekat,” tutur Lurdis lirih. “Kami hanya bisa melihat dari jauh. Namanya pun kami tidak tahu.”
Di sana, jarak bukan hanya ukuran langkah, melainkan batas kemanusiaan yang tak terlewati.
Tubuh yang Menjadi Berita
Ia bukan angka. Bukan statistik lintas batas. Ia seorang ayah, seorang anak dari tanah Alor, seorang pejalan yang membawa pulang harap. Namun di perbatasan, identitas kerap menyusut menjadi prosedur; manusia menjadi berkas yang belum lengkap.
Kematian ini tidak gaduh. Tidak ada sirene. Tidak ada kerumunan. Yang ada hanya kesaksian—bahwa nyawa bisa padam di ruang tunggu yang tak tercatat, di sela aturan yang kaku, di antara dua negara yang sama-sama punya alasan.
“Ketika pertolongan terlambat, kemanusiaanlah yang pertama kali terasa pergi,” kata seorang warga yang ikut menyaksikan, menahan getar.
Humanisme di Garis Batas
Perbatasan seharusnya menjadi pintu, bukan tembok. Di sana, kehadiran negara diuji bukan oleh cap paspor, melainkan oleh kecepatan empati. Kematian bapak asal Alor ini meninggalkan pertanyaan yang sunyi namun tajam: bagaimana protokol darurat lintas negara bekerja saat tubuh manusia ambruk sebelum administrasi selesai?
Bagi mereka yang menyaksikan dari jauh, larangan mendekat adalah luka kedua. Ketidakberdayaan menjadi saksi yang paling menyakitkan—melihat napas terakhir tanpa bisa menggenggam tangan.
Doa yang Tertinggal
Namanya mungkin tak tercatat dalam ingatan saksi. Namun peristiwanya tinggal—menjadi pengingat bahwa di garis batas, yang paling perlu dijaga bukan hanya kedaulatan, melainkan kehidupan.
Di Motaain, seorang bapak pulang tanpa sampai. Dan kita, yang membaca, hanya bisa menitipkan doa: semoga perbatasan kelak lebih cepat mengulurkan tangan daripada mengangkat palang.
















