Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalNasionalPeristiwa

Ketika Ayah Menggugat Negara: Gugatan Sunyi di Ruang Perdata

49
×

Ketika Ayah Menggugat Negara: Gugatan Sunyi di Ruang Perdata

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

JAKARTA|LINTASTIMOR.ID)———Di ruang pengadilan, waktu berjalan lambat. Ia tidak mengenal pangkat, tidak pula mengenal seragam. Kamis itu, 18 Desember 2025, seorang ayah melangkah masuk ke Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA—bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai warga negara yang kehilangan anaknya. Namanya Pelda Chrestian Namo. Yang ia bawa bukan senjata, melainkan gugatan.

Di hadapan hukum perdata, Pelda Chrestian resmi menggugat dua perwira tinggi TNI: Brigjen TNI Hendro Cahyono, Komandan Korem 161/Wira Sakti Kupang, dan Letkol Kav Kurnia Santiadi Wicaksono, Komandan Kodim 1627 Rote Ndao. Gugatan itu berlandaskan satu frasa hukum yang dingin namun tajam: Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Example 300x600

Di balik istilah tersebut, tersimpan luka yang belum menemukan kata penutup. Prada Lucky Namo, putra Pelda Chrestian, telah meninggal dunia. Keluarga menduga kematian itu berkaitan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seniornya. Dugaan yang kini tidak hanya diuji secara etik dan disiplin militer, tetapi juga dibawa ke ranah tanggung jawab perdata.

“Ini bukan tentang melawan institusi, tetapi tentang mencari keadilan atas hilangnya nyawa seorang anak,” demikian garis sikap keluarga melalui kuasa hukumnya.

Dalam konstruksi hukum perdata, gugatan ini menarik garis yang berbeda dari proses pidana atau militer. Yang dipersoalkan bukan semata siapa pelaku langsung, melainkan tanggung jawab struktural. Keluarga menilai bahwa para tergugat, sebagai atasan, lalai menjalankan kewajiban pengawasan, sebuah kelalaian yang—menurut penggugat—berkontribusi pada terjadinya peristiwa tragis tersebut.

Di sinilah hukum perdata bekerja dengan logikanya sendiri. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian mewajibkan pelakunya mengganti kerugian tersebut. Dalam konteks ini, “perbuatan” tidak selalu berbentuk tindakan aktif; kelalaian pun dapat menjadi dasar pertanggungjawaban.

Gugatan ini juga menyoroti dimensi lain yang tak kalah sensitif: pernyataan-pernyataan para tergugat di ruang publik. Keluarga menilai sejumlah pernyataan tersebut telah menyudutkan korban dan keluarganya, serta tidak sepenuhnya sejalan dengan fakta yang mereka pahami. Dalam hukum perdata, pernyataan di media bukan sekadar opini; ia dapat diuji sebagai perbuatan yang menimbulkan kerugian immateriil—nama baik, martabat, dan rasa keadilan.

“Kami ingin kebenaran diuji di ruang yang adil dan terbuka,” ujar kuasa hukum keluarga, seraya menegaskan bahwa pengadilan adalah tempat terakhir bagi harapan yang tersisa.

Kasus ini memperlihatkan pertemuan antara disiplin militer dan akuntabilitas sipil. Ia mengajukan pertanyaan yang tidak sederhana: sejauh mana tanggung jawab seorang komandan atas apa yang terjadi di bawah komandonya? Apakah pengawasan hanya bersifat administratif, atau juga moral dan preventif?

Bagi hukum perdata, pertanyaan itu akan dijawab melalui pembuktian: hubungan kausal antara kelalaian dan kerugian, kewajiban hukum yang dilanggar, serta dampak nyata yang ditanggung penggugat. Tidak ada yang diasumsikan. Semuanya diuji.

Namun di luar berkas gugatan dan pasal-pasal, perkara ini menyisakan satu kenyataan yang tak bisa diperdebatkan: seorang ayah telah kehilangan anaknya. Dan di tengah sistem yang besar dan hierarkis, ia memilih jalur hukum sipil—jalur yang sunyi, panjang, dan sering kali melelahkan—untuk meminta pertanggungjawaban.

“Pengadilan adalah tempat terakhir kami menggantungkan keadilan,” demikian harap keluarga.

Gugatan ini belum sampai pada putusan. Ia masih berupa pertanyaan yang diletakkan di meja hakim. Tetapi keberaniannya telah lebih dulu berbicara: bahwa di hadapan hukum, setiap nyawa memiliki nilai, dan setiap kehilangan berhak atas penjelasan.

Di ruang perdata itu, seorang ayah tidak sedang menantang negara. Ia sedang mengetuk nurani hukum—pelan, namun dengan keyakinan bahwa keadilan, pada akhirnya, harus mau mendengar.

 

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.idEditor: Agustinus Bobe