Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
NasionalPeristiwaPolkam

Di Lapangan Belu, Negara Berdiri Kembali”

106
×

Di Lapangan Belu, Negara Berdiri Kembali”

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

—  Hari Bela Negara ke-77

ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Pagi di Atambua tidak hanya membawa matahari, tetapi juga ingatan. Di Lapangan Kantor Bupati Belu, bendera Merah Putih berkibar bukan sekadar kain, melainkan sejarah yang bernapas. Di sanalah negara kembali berdiri—bukan dengan senjata, melainkan dengan kesadaran. Hari Bela Negara ke-77 menjelma menjadi upacara sunyi yang berbicara lantang tentang makna bertahan, tentang Indonesia yang tidak pernah benar-benar tumbang.

Example 300x600

Tanggal 19 Desember selalu memiliki gema panjang dalam perjalanan republik. Ia bukan sekadar penanda kalender, melainkan simpul ingatan kolektif tentang bagaimana Indonesia pernah nyaris lenyap, lalu memilih bertahan. Ketika Agresi Militer Belanda II mengguncang sendi negara pada 1948, republik ini tidak menyerah. Ia bergerak ke hutan, ke Bukittinggi, ke kesunyian—melahirkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Negara hidup karena keberanian untuk bertahan dalam keterbatasan.

Di Belu, Kamis pagi itu, gema sejarah kembali dipanggil.

Dekan Universitas Pertahanan Republik Indonesia Ben Mboi Atambua, Dr. Penny Radjendra, S.T., M.Sc., M.Sc., Marsda TNI, berdiri sebagai Inspektur Upacara. Namun yang berdiri sesungguhnya bukan hanya seorang perwira udara atau akademisi pertahanan—melainkan perpanjangan suara negara.

Dengan nada tenang namun tegas, ia membacakan Amanat Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang tahun ini mengusung tema “Teguhkan Bela Negara untuk Indonesia Maju.” Tema yang tidak berteriak, tetapi mengetuk kesadaran.

“Setiap tanggal 19 Desember, kita mengenang berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi. Peristiwa itu menjadi bukti bahwa semangat bela negara mampu menjaga Indonesia tetap berdiri.”

Kata “berdiri” di sini bukan sikap tubuh, melainkan sikap batin. Berdiri ketika segala sesuatu berusaha menjatuhkan. Berdiri ketika negara tidak memiliki apa-apa kecuali keyakinan.

Presiden mengingatkan bahwa kemajuan bangsa bukan hadiah dari waktu, melainkan hasil dari kesiapsiagaan dan ketangguhan kolektif.

“Kemajuan hanya dapat dicapai apabila seluruh rakyat memiliki kesiapsiagaan, disiplin, dan ketangguhan.”

Di zaman yang bergerak tanpa jeda, ancaman tidak lagi datang dengan derap sepatu perang. Ia hadir dalam sunyi layar gawai, dalam algoritma yang memecah belah, dalam radikalisme yang menyamar sebagai kebenaran, dalam serangan siber yang tak terlihat. Negara kini diuji bukan hanya di perbatasan, tetapi di pikiran warganya.

“Ancaman terhadap negara tidak lagi bersifat konvensional, melainkan berbentuk perang siber, gerakan radikalisme, hingga bencana alam yang semakin sering terjadi.”

Dan ketika Presiden menyebut Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—daerah yang kembali diuji oleh bencana—sejarah seperti berdiri di tengah lapangan.

“Tanpa Aceh, tanpa Sumatera Utara, dan tanpa Sumatera Barat, sejarah bela negara tidak akan lengkap.”

Kalimat itu bukan sekadar empati, melainkan pengakuan. Bahwa republik ini dibangun oleh wilayah-wilayah yang rela terluka agar Indonesia tetap utuh. Bahwa persatuan bukan jargon, melainkan pengorbanan yang berulang.

Di ujung amanat, Presiden tidak menyerukan heroisme besar. Ia memilih hal-hal sederhana, namun mendasar.

“Cinta tanah air harus diwujudkan dengan membantu sesama yang tertimpa bencana, menjaga ruang digital dari hoaks, memperkuat ketahanan ekonomi keluarga, serta berkontribusi sesuai peran masing-masing.”

Di situlah bela negara menemukan wajah paling manusiawi: menolong, menjaga, bekerja jujur, dan tidak membiarkan kebohongan tumbuh subur.

Upacara itu dihadiri Bupati Belu, Forkopimda, Dansatgas Pamtas RI–RDTL, para pimpinan OPD, ASN, dan aparat negara. Namun sesungguhnya, yang hadir adalah republik itu sendiri—lengkap dengan sejarah, luka, dan harapannya.

Di Atambua, jauh dari pusat kekuasaan, Hari Bela Negara menemukan maknanya: bahwa Indonesia tidak hanya dijaga oleh mereka yang bersenjata, tetapi oleh mereka yang setia. Setia pada kebenaran, pada persatuan, pada kemanusiaan.

Dan selama kesetiaan itu masih hidup, negara ini—seperti pagi di Belu—akan selalu menemukan caranya untuk berdiri kembali.

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.idEditor: Agustinus Bobe