Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalKabupaten MimikaNasionalPeristiwaPolkam

Natal yang Tertahan di Tanah Jila: Ketika Tangisan Adat Mengetuk Pintu Negara

43
×

Natal yang Tertahan di Tanah Jila: Ketika Tangisan Adat Mengetuk Pintu Negara

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-Menjelang Natal, ketika seharusnya lonceng gereja memanggil damai dan doa-doa naik seperti asap dupa, Tanah Jila justru bergemuruh oleh kecemasan. Di Mimika, Rabu pagi (17/12/2025), ratusan masyarakat adat Suku Amungme meninggalkan rumah dan kampung mereka, berjalan kaki dari Bundaran Timika Indah menuju pusat kekuasaan lokal—kantor DPRD Kabupaten Mimika.

Langkah-langkah itu berat. Bukan oleh jarak, melainkan oleh luka. Luka yang belum sembuh, luka yang terus berdarah di tengah operasi militer non-organik yang dinilai telah menciptakan rasa takut di wilayah adat mereka.

Example 300x600

Mereka datang dengan satu seruan besar:
Hentikan pertumpahan darah. Kembalikan Natal sebagai kabar damai.

Aksi yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Jila (SPJ) itu berlangsung tertib, dikawal ketat aparat Polres Mimika dan Satuan Brimob Detasemen B Timika. Sepanjang perjalanan, orasi-orasi disuarakan—bukan dengan kebencian, melainkan dengan kepedihan yang lama dipendam.

Setibanya di halaman DPRD Mimika, massa diterima langsung oleh sejumlah anggota dewan, di antaranya Marinus Tandiseno, Dolvin Beanal, dan Fredewina Matirani. Di ruang itulah suara adat bertemu ruang negara.

Koordinator aksi, Elois Kemong, menyampaikan tuntutan dengan nada tegas namun sarat harap. Ia meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera menarik pasukan TNI non-organik dari wilayah adat Suku Amungme, khususnya di Distrik Jila, menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru.

“Natal seharusnya menjadi kabar keselamatan, bukan ketakutan. Kami ingin pulang ke rumah tanpa rasa curiga, berdoa tanpa bunyi senjata,” suaranya bergetar namun utuh.

Dalam aksinya, massa menyampaikan enam tuntutan utama:
penarikan militer dari Distrik Jila, kehadiran Komnas HAM RI, pencabutan status zona merah di wilayah adat Amungsa, jaminan hak sipil dan penerapan hukum humaniter, penciptaan suasana damai oleh Pemkab Mimika, serta pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD untuk penanganan khusus Distrik Jila.

Tuntutan-tuntutan itu bukan manifesto politik, melainkan jeritan warga sipil yang ingin hidup normal di tanah sendiri.

Momen paling sunyi sekaligus paling kuat terjadi ketika enam tuntutan tersebut diserahkan kepada DPRD Mimika. Dolvin Beanal, anggota dewan yang menerima dokumen itu, tak kuasa menahan air mata.

“Saya menangis dan sedih, karena saya sendiri telah mengunjungi masyarakat Distrik Jila setelah penembakan. Saya melihat langsung pengungsian, dan memberikan bantuan sembako kepada warga,” ujarnya dengan suara bergetar.

Tangis itu menjadi simbol: bahwa konflik ini bukan sekadar laporan keamanan, tetapi perih kemanusiaan.

Dalam semangat jurnalisme damai, peristiwa ini tidak berhenti pada siapa yang benar dan siapa yang salah. Ia mengajak semua pihak—negara, aparat, wakil rakyat, dan masyarakat adat—untuk duduk kembali di meja kemanusiaan.

Solusinya bukan hanya penarikan pasukan atau pembentukan pansus, tetapi keberanian mendahulukan dialog, transparansi, dan pemulihan kepercayaan. Natal membutuhkan ruang sunyi agar doa dapat tumbuh. Tanah Jila membutuhkan jaminan hidup agar damai dapat kembali berakar.

Di ambang Natal, masyarakat Amungme tidak meminta kemewahan. Mereka hanya meminta satu hal yang paling mendasar:
hak untuk hidup tanpa takut, dan beribadah tanpa bayang-bayang senjata.

Dan mungkin, di sanalah tugas negara diuji—bukan pada kekuatan senjata, melainkan pada keberanian mendengar tangisan rakyatnya sendiri.

Example 300250