Mengenang 16 Desember: Kelly Kwalik dan Memoria Passionis Papua
Timika, 16 Desember 2009
Jayapura, 16 Desember 2025
TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-
Pagi itu, lonceng Natal belum sempat bernyanyi.
Udara Timika masih basah oleh doa-doa yang tertahan ketika empat peluru menutup riwayat seorang lelaki yang lebih sering tidur di tanah daripada di ranjang, lebih akrab dengan kabut gunung daripada cahaya lampu kota.
Namanya Anakeletus Kelly Kulalok Kwalik.
Rakyat Papua memanggilnya Tuan Jenderal.
Ia wafat pada 16 Desember 2009, bukan di medan perang terbuka, melainkan di sebuah rumah warga—lemah oleh sakit, dikelilingi sipil, di ambang Natal. Kematian itu bukan sekadar berakhirnya satu nyawa, melainkan pembuka kembali luka lama sebuah bangsa yang belum selesai berdamai dengan sejarahnya sendiri.
Obituari
“Dia memperjuangkan kemiskinan di tengah hutan bersama dinginnya udara,
bukan di hotel-hotel berbintang.”
— Mgr. John Philip Saklil, Pr
Uskup Keuskupan Timika
Tujuh hari setelah tubuhnya ditembus peluru, ratusan warga Papua mengantar jasadnya ke peristirahatan terakhir di Timika Indah. Tangis tidak gaduh. Duka itu dalam—seperti luka yang terlalu lama disimpan.
Siapakah Tuan Jenderal Kelly Kwalik?
Ia lahir sekitar tahun 1955 di Lembah Jila, Timika—tanah Amungsa, tanah emas dan tembaga, tanah yang sejak lama menyimpan paradoks: kaya di perut bumi, miskin dalam kehidupan manusia.
Kelly berasal dari Suku Amungme, saksi hidup awal kehadiran tambang raksasa PT Freeport. Sejak kecil, ia menyerap ketidakadilan bukan dari buku, melainkan dari jeritan kampung, operasi militer, dan tanah leluhur yang berubah menjadi konsesi.
Pendidikannya sederhana, khas anak Papua pada masanya:
SD di Agimuka, SMP di Kokonau (tak selesai), lalu Sekolah Guru Bawah (SGB) di Wamena, tamat 1974. Ia sempat menjadi guru—mengajar satu tahun—sebelum memilih jalan yang tak pernah mengantarnya pulang dengan tenang.
Desember 1976, Kelly masuk ke Markas Besar Victoria Waris, bergabung dengan pemerintahan revolusioner Papua Barat. Sejak saat itu, hutan menjadi rumah, senjata menjadi risiko, dan kesunyian menjadi sahabat setia.
Dari Guru Kampung Menjadi Panglima Hutan
Ia berjalan kaki berbulan-bulan melewati Wamena, Ilaga, hingga Timika. Tahun 1979, Kelly dikukuhkan sebagai Wakil Panglima KODAP III, lalu menjabat Panglima KODAP III Nemangki (1980–2007), hingga akhirnya menjadi Panglima TPN-PB/OPM.
Tahun 1977, operasi militer besar-besaran menggulung wilayah Amungme dan Pegunungan Tengah. Warga lari ke hutan, mati perlahan oleh lapar dan penyakit. Dari situlah, perlawanan Kelly mengeras—bukan karena dendam, tetapi karena kesaksian langsung atas penderitaan manusia.
Ia memotong pipa tembaga Freeport sebagai simbol perlawanan. Ia menulis surat resmi kepada militer Indonesia, mengusulkan waktu dan tempat perang agar warga sipil tidak menjadi korban. Surat itu ditolak. Darah pun jatuh tanpa janji perlindungan.
Mapenduma dan Dunia yang Menoleh
Nama Kelly Kwalik menggema ke dunia internasional lewat penyanderaan Ekspedisi Lorentz ’95 di Mapenduma, 1996. Enam bulan para peneliti ditahan bukan untuk tebusan uang, melainkan untuk pengakuan atas eksistensi bangsa Papua.
Kesaksian para sandera kemudian membuka sisi lain Kelly Kwalik: bukan monster, melainkan manusia keras yang tetap memelihara humor, wibawa, dan kode etiknya sendiri.
Namun sejak itu pula, ia menjadi target permanen operasi militer.
Tuduhan, Kontroversi, dan Kesendirian
Ia dituduh terlibat dalam berbagai insiden penembakan di wilayah Freeport—termasuk kasus guru Amerika (2002) dan warga Australia (2009). Kelly membantah. Bahkan, Kapolda Papua kala itu menyatakan ia bukan pelaku. Namun tuduhan tetap menggantung, seperti kabut yang sengaja dipelihara.
Hingga akhirnya, Oktober 2009 menjadi penanda operasi terakhir.
Desember itu, ia sakit. Lemah. Berobat.
16 Desember 2009: Natal yang Retak
Pukul 03.00 WIT, Tim Densus 88 menyergap sebuah rumah warga. Kelly tertembak empat peluru. Bersamanya ada warga sipil, termasuk seorang perempuan hamil.
Tak ada pengadilan.
Tak ada pengakuan terakhir.
Hanya kematian.
Natal berubah menjadi lonceng duka.
Uskup Philip Saklil berdiri di depan jenazahnya, bukan sebagai hakim, melainkan sebagai saksi kemanusiaan—menyebut Kelly sebagai lelaki yang setia hidup dalam kemiskinan bersama rakyatnya.
Doa dari Seorang Pejuang
Di akhir hidupnya, Kelly meninggalkan doa—bukan kutukan, melainkan permohonan yang telanjang:
“Tuhanku, bawalah pergi semua emas, tembaga, minyak, gas, ikan,
semua yang membuat pulau ini kaya.
Orang-orang ini membutuhkannya, bukan kami.
Berilah kami kembali satu hal yang kami minta
dari kemarin, hari ini, dan esok:
KEMERDEKAAN.”
Doa itu bukan sekadar milik Kelly Kwalik.
Ia adalah memoria passionis—ingatan penderitaan kolektif bangsa Papua.
Melawan Lupa
Kematian Kelly Kwalik bukan akhir sejarah, melainkan cermin yang terus dipaksa kita pandangi. Ia mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu lahir dari senjata, tetapi dari kesetiaan pada luka rakyat sendiri.
Enam belas tahun telah berlalu.
Namun selama ketidakadilan masih bernapas,
nama Kelly Kwalik akan terus berjalan—
menyusuri hutan ingatan,
melawan lupa.
Selamat jalan, Tuan Jenderal.
Tinggallah dalam damai.
Rest in peace.
















