Belu tidak sedang berteriak mencari perhatian. Ia memilih cara yang lebih sunyi—merapikan diri, menyapu halaman, dan menyalakan lampu-lampu budaya—sambil menunggu siapa pun yang datang dengan rasa ingin tahu dan hormat.
Dari Atambua, pemerintah Kabupaten Belu terus menata pariwisata, dari hulu hingga hilir, lewat kerja senyap dan perayaan kebudayaan yang kian hidup.
ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID —
Di ruang kerjanya, Senin (15/12/2025), Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Belu, Januaria Nona Alo, S.IP, berbicara tentang pariwisata bukan sebagai proyek, melainkan sebagai cara hidup.
Baginya, wajah pariwisata Belu tak hanya ditentukan oleh keindahan alam, tetapi oleh sikap warganya sendiri.
“Pariwisata adalah tanggung jawab kita semua,” ujarnya tenang. “Jadilah orang Belu yang ramah, yang membuat tamu merasa diterima, bukan sekadar dilayani.”
Keramahan, ketertiban, dan kebersihan menjadi tiga pesan utama yang ia tekankan. Januaria tak menutup mata bahwa persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah bersama—baik di destinasi wisata maupun di lingkungan sehari-hari.
“Keindahan alam akan kehilangan maknanya jika kita abai menjaga kebersihan,” katanya, reflektif. “Wisatawan datang bukan hanya melihat, tetapi merasakan.”
Kabupaten Belu menyimpan lanskap wisata yang lengkap dan tersebar di hampir seluruh wilayah. Wisata alam menjadi kekuatan utama:
pantai pasir putih, Sukaerlaran, Tanjung Raikatar, Aufuik, Teluk Gurita, Puncak Gunung Lakaan, Air Terjun Mau Halek, Padang Fulan Fehan, hingga Webot—ruang-ruang alam yang menyuguhkan keheningan dan kejujuran lanskap Timor.
Sementara itu, wisata buatan dan rohani menghadirkan dimensi spiritual dan sejarah: Patung Bunda Maria Gurita, Gereja Batu Laktutus, serta Rumah Doa Mgr. Gabriel Manek Lahurus—tempat ziarah bertemu refleksi.
Belu juga hidup lewat wisata budaya, yang berdenyut di kampung-kampung adat seperti Dua Rato, Nyalain, dan Matabesi. Di sana, adat bukan pertunjukan, melainkan napas kehidupan.
Menariknya, dari sekian destinasi tersebut, hanya Pantai Pasir Putih dan Patung Bunda Maria Gurita yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Selebihnya dirawat oleh komunitas adat, perorangan, serta pihak gereja dan biara—sebuah bukti bahwa pariwisata Belu tumbuh dari partisipasi masyarakat.
“Ini kekuatan kita,” kata Januaria. “Pariwisata Belu hidup karena warganya ikut menjaga.”
Dari sisi kunjungan, Belu mencatat lonjakan signifikan. Data Dinas Pariwisata menunjukkan, pada 2021 jumlah wisatawan tercatat 15.688 orang. Di tahun 2025, angka itu melonjak tajam menjadi 327.189 kunjungan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Sebuah grafik yang terus menanjak seiring promosi dan penyelenggaraan event-event budaya.
Untuk menopang arus kunjungan tersebut, Kota Atambua kini memiliki sekitar 20 penginapan, hotel, dan homestay berklasifikasi melati yang tersebar di berbagai titik kota.
“Kami akan terus bergerak, terus mempromosikan Belu lewat event dan kebudayaan,” tutup Januaria. “Karena Belu bukan hanya untuk dikunjungi, tetapi untuk diingat.”
Di ujung timur Nusa Tenggara Timur, Belu sedang belajar mencintai dirinya sendiri—dan dari cinta itulah, pariwisata menemukan maknanya.
















