Di ruang rapat iNews yang dingin oleh pendingin udara dan panas oleh harapan, kata-kata tak lagi sekadar bunyi. Ia menjelma kompas. Menunjuk ke mana kepedulian harus pulang.
JAKARTA |LINTASTIMOR.ID)-Bangsa ini, kata Angela Tanoesoedibjo, tidak pernah miskin potensi. Ia kaya akal, kaya sistem, kaya orang-orang cerdas. Yang kerap hilang hanyalah keberanian untuk bertindak—dan kesediaan untuk tidak membiarkan. Di hadapan peserta Perindo Leadership Course, Ketua Umum Partai Perindo itu tidak sedang berpidato. Ia sedang mengajak berpikir, merasakan, lalu bergerak.
“Kita tidak kekurangan orang pintar. Kita tidak kekurangan sistem. Tetapi kita membiarkan,” ucapnya lirih, namun menghunjam.
Tubuh Bangsa yang Resah
Angela menyebut keresahan itu nyata. Ia hidup di kampus-kampus, berdenyut di ruang-ruang diskusi mahasiswa, dan berdiam di kegelisahan anak-anak muda yang belajar keras namun ragu pada masa depan.
Mereka bertanya, setelah lulus nanti, apakah ilmu masih relevan? Apakah pekerjaan masih ada? Apakah negara masih memberi tempat?
Lebih getir lagi bagi mereka yang bahkan tak punya akses pendidikan. Di sanalah, menurut Angela, politik seharusnya hadir—bukan sebagai jargon, tetapi sebagai jawaban.
Perindo: Wadah Kepedulian
Perindo, ditegaskan Angela, tidak dibangun untuk satu orang, bukan milik segelintir elite, dan tidak untuk mengantar satu nama ke puncak.
“Perindo dibangun sebagai wadah. Jawaban bagi orang-orang yang peduli. Solusi bagi keresahan,” katanya.
Di tengah runtuhnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan lembaga negara, Perindo ditantang untuk berdiri sebagai pengecualian—mengembalikan makna kepercayaan yang nyaris aus.
Transparansi sebagai Jalan Pulang
Angela berbicara tentang kerja keras yang tidak bisa dinegosiasikan. Tentang partai yang tak bisa berjalan sendirian dari pusat, dan tentang sistem yang harus bekerja jujur.
Ia mencontohkan jurnal anggota legislatif—bukan sebagai beban administratif, tetapi sebagai etika.
“Kita dipilih oleh publik. Maka kita harus bertanggung jawab kepada publik,” tegasnya.
Transparansi, baginya, bukan slogan. Ia adalah bentuk hormat kepada rakyat.
Idealisme yang Tidak Naif
Politik, kata Angela, bukan ruang steril. Ia diwarnai kepentingan, aturan yang sering ditentukan segelintir orang, dan permainan yang tak selalu adil. Namun idealisme tidak boleh mati—ia hanya perlu cerdas.
“Percuma kita punya idealisme kalau habis itu kita kalah dan tidak bisa mengambil bagian,” ujarnya lugas.
Karena itu, Perindo harus punya rencana. Bukan rencana asal menyenangkan atasan, tetapi landing plan yang nyata—hingga ke ranting, hingga ke desa.
Dikenal, Disukai, dan Dipercaya
Angela mengingatkan prinsip klasik yang sering dilupakan: partai harus hadir. Harus bertemu rakyat. Harus mendengar, bukan hanya berbicara.
“Kalau kita tidak pernah bertemu masyarakat, bagaimana kita mau dikenal?”
Namun dikenal dan disukai saja tidak cukup. Ada satu mata uang politik yang paling mahal—kepercayaan.
“Tidak dipercaya, tidak akan berkelanjutan,” katanya.
Kepercayaan itulah yang membuat seorang wakil rakyat dipilih kembali, bukan sekali, tetapi berkali-kali.
Membangun dari Daerah
Membangun Indonesia, tegas Angela, tidak bisa dari Jakarta saja. Ia harus dimulai dari daerah, dari jaringan yang hidup, dari kaderisasi yang terbuka dan inklusif.
Perindo, kata dia, harus menjadi top of mind sebagai pembawa perubahan—energi baru Indonesia—bukan hanya di baliho, tetapi di ingatan dan pengalaman rakyat.
Menjelang akhir, Angela menitipkan harapan sederhana namun berat: pulanglah ke daerah masing-masing, temui rakyat, rawat kepercayaan, dan siapkan Perindo menghadapi verifikasi nasional 2027.
Di ruang rapat itu, pidato berakhir. Tetapi pesan belum selesai. Ia berjalan bersama para kader, menumpang di koper-koper yang akan kembali ke daerah, dan mungkin—jika dijaga—akan tumbuh menjadi keyakinan.
Bahwa kepedulian, jika diberi rumah, bisa menjadi perubahan.
















