Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaGaya HidupNasional

Demi Merah Putih Kami Datang, Kini Mau Diusir ke Mana?”

55
×

Demi Merah Putih Kami Datang, Kini Mau Diusir ke Mana?”

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Dua puluh tiga tahun berlalu sejak mereka memilih menetap di bawah bendera merah putih. Hari ini, tempat berteduh itu justru terancam dicabut dari akar ingatan mereka.

SOE |LINTASTIMOR.ID)– Suara Amelia Dorego bergetar, tetapi kalimatnya berdiri tegak, seolah menolak runtuh di hadapan waktu dan keputusan yang tak kunjung memihak. Puluhan Kepala Keluarga (KK) eks pengungsi Timor Timur di kawasan Pasar Kapan, Desa Obesi, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, memohon perhatian terakhir kepada negara – Presiden Prabowo Subianto – untuk menyelamatkan rumah yang telah mereka isi dengan hidup, air mata, pesta kecil, kelahiran, dan kesetiaan selama 23 tahun.

Example 300x600

“Saya mohon kepada Bapak Presiden Prabowo, tolong kami,” ucap Amelia lirih, Selasa (9/12/2025). Suaranya bukan hanya permintaan, tapi juga pengingat: mereka pernah memilih Indonesia, ketika dunia memecah dua dan memaksa mereka menentukan nasib antara tanah lahir dan tanah air.

Mereka bukan sekadar datang. Mereka memilih.
Mereka tidak diusir sejarah, tetapi menjemputnya demi mempertahankan warna merah dan putih yang ketika itu diuji oleh referendum 1999.

“Kami punya rumah, punya tanah di Timor Leste. Tapi karena membela NKRI maka kami tinggalkan semua dan datang ke sini,” kata Amelia—yang rambutnya kini sepenuhnya memutih, tapi suaranya tetap membawa nada hormat kepada republik.

Mereka membangun ulang hidup dari nol: menaruh bata di atas luka, memaku dinding pada harapan, menegakkan atap demi masa depan anak-anak yang kini tumbuh jadi pekerja, guru, sopir, penata masa depan mereka. Dua dekade lebih, rumah itu bukan sekadar ruang tinggal. Ia adalah pengganti kampung halaman, pengganti memori, pengganti suara ayam pagi di tanah yang mereka tinggalkan.

Namun kini, kabar penggusuran menyelinap seperti badai tanpa peringatan.
Tanah dan rumah yang menjadi satu-satunya definisi “pulang” akan diambil kembali, tanpa kejelasan, tanpa kepastian, tanpa tempat menaruh sejarah baru.

“Tempat tinggal yang sudah 23 tahun kami tempati mau digusur. Dan kami mau diusir ke mana lagi?” Amelia kembali bertanya, kali ini matanya basah. Pertanyaan itu menggantung di udara seperti doa yang belum menemukan langitnya.

Jika pengorbanan adalah bahasa paling purba dalam patriotisme, maka mereka telah menuliskannya lebih dulu sebelum huruf-huruf kebijakan tiba.
Bendera yang mereka pilih 23 tahun lalu berkibar juga karena keputusan mereka untuk tetap tinggal di Indonesia, meninggalkan akar, nenek moyang, kuburan keluarga, kenangan, dan bahasa rumah.

“Kami datang bukan semau kami. Kami bukan gila. Kami datang karena Merah Putih, karena Indonesia,” tutup Amelia—tanpa marah, hanya dengan kesedihan yang tenang.

Kini, di antara retak dinding rumah tua dan kayu yang berbau hujan, mereka menunggu. Menunggu negara yang dulu mereka pilih, negara yang dulu mereka bela.

Puluhan keluarga itu menggantungkan seluruh harapan pada Presiden Prabowo Subianto:
agar negara tidak lupa pada mereka yang memilih tetap tinggal dalam pangkuannya,
agar rumah 23 tahun itu tidak berubah jadi puing ingatan,
agar mereka tidak kembali menjadi kata tanpa alamat, manusia tanpa koordinat.

Karena pada akhirnya, pertanyaan itu tetap bergema:

Jika mereka yang datang demi Merah Putih akhirnya harus pergi,
lalu negeri ini mau menaruh loyalitas mereka di mana?

 

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.idEditor: Agustinus Bobe