Kadang swasembada bukan sekadar panen melimpah, tetapi bagaimana desa belajar menggiling harapannya sendiri.
TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-Di Mimika, suara padi bukan lagi sebatas desir bulir yang jatuh dari tenggala. Ia kini berubah menjadi dengung mesin yang menandai babak baru: petani tak lagi menunggu, tak lagi menitipkan hasil panennya pada antrean panjang alat di luar kampung. Dua belas unit mesin penggiling yang disalurkan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanbun) Mimika telah menjadi tonggak—bukan sekadar alat, tetapi pengubah ritme hidup di lahan.
Kepala Distanbun Mimika, Alice Irene Wanma, tak memilih kata berlebih. Senyumnya cukup sebagai bukti, suaranya pelan namun penuh kepastian.
“Mereka sudah pakai, sudah giling ini bagus-bagus.”
— Alice Irene Wanma, 9 Desember 2025
Dari distrik ke distrik, bulir yang dahulu menunggu giliran kini pulang sebagai beras berkualitas. Wajah petani lebih teduh; tangan mereka tidak lagi melewati proses giling tradisional yang memakan tenaga, waktu, bahkan merampas mutu hasil panen. Dengan mesin, mereka menggiling bukan hanya padi, tetapi rasa percaya bahwa swasembada bukan slogan, melainkan jalan pulang menuju martabat pangan.
Distanbun tak berhenti pada angka dua belas unit. Tahun depan, mereka membidik 2.000 hektare hamparan padi—sawah dan ladang gogoh yang akan menegaskan bahwa Mimika tak sekadar menanam, tetapi menyiapkan masa depan pangan. Langkah pertama telah dimulai: pencarian CPCL, benih terbaik, bibit yang kelak menjadi metafora bahwa mutu tidak tumbuh dari kebetulan, tetapi dari perencanaan.
“Tanam padi ladang pada tahun 2025 telah mencapai hampir 50 hektar.”
— Alice Irene Wanma
Di enam distrik, sekolah lapang kembali dibentangkan. Petani belajar membaca cuaca, memegang pupuk, mengatur air, dan mengenali kapan bulir harus menghormat pada matahari. Mereka tak lagi penerima bantuan semata, tetapi pemilik ilmu, pengolah strategi, penyusun musim.
Swasembada, pada akhirnya, bukan sekadar mimpi tentang gudang penuh beras. Ia adalah tentang manusia yang menguasai alatnya sendiri, tentang petani yang menciptakan waktu panen tanpa ongkos gentar, tentang sawah yang tak sekadar ditanami tetapi dipahami.
Jika dua belas mesin penggiling itu adalah bunyi awal, maka 2.000 hektare padi adalah simfoni yang menunggu dimainkan. Dan pada alur panjang ini, Mimika menulis dirinya sendiri sebagai daerah yang tak hanya menanam padi—tetapi menanam martabat kemandirian pangan.
Karena pada setiap bulir yang tergiling sempurna, tersimpan kalimat sunyi yang menegaskan:
desa mampu, petani sanggup, dan swasembada bukan utopia—ia sedang tumbuh, tepat di tanah yang mereka pijak.
















