Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaNasionalPeristiwaPolkam

Di Bawah Langit Perbatasan, Negara Datang Menjemput Anaknya

78
×

Di Bawah Langit Perbatasan, Negara Datang Menjemput Anaknya

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

Angin Atambua siang itu jatuh perlahan, membawa kabar: negara datang bukan sebagai tamu, tetapi sebagai penjamin martabat.

Example 300x600

ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Bandara A. A. Bere Tallo, Senin, 8 Desember 2025. Landasan sunyi berubah menjadi halaman negara. Bupati Belu Willybrodus Lay, SH berdiri berjejer bersama Forkopimda, Dekan UNHAN RI Mben Mboi, Dansatgas Pamtas RI–RDTL, dan para pimpinan OPD. Di seberang sorot mata para prajurit, sebuah pintu pesawat terbuka: Wakil Menteri Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Cristina Aryani, S.E., S.H., M.H., turun dengan langkah yang tenang—seolah ia tahu bahwa perbatasan adalah tempat di mana harapan dan kehilangan sering bertemu.

Ini bukan kunjungan protokoler biasa. Belu, kabupaten yang menyimpan jejak keluar-masuk buruh migran, menjadi halaman depan republik. Di titik ini, peluh dan paspor tak jarang menjadi taruhan nasib.

“Kami ingin memastikan bahwa menjadi pekerja migran bukan lagi cerita tentang risiko, tetapi tentang martabat. Negara wajib hadir sejak pintu berangkat sampai pintu pulang,” ujar Cristina, suaranya bening, tegas, nyaris seperti doa yang dibacakan untuk para perantau yang belum kembali.

Dalam pertemuan yang berlangsung hangat, KP2MI, BP2MI, dan Pemerintah Daerah Belu menyatukan kalimat: perlindungan bukan slogan, melainkan mekanisme yang hidup. Cristina Aryani memetakan peluang kerja legal bagi masyarakat NTT, sembari menegaskan penguatan sinergi lintas lembaga. Di sampingnya, Kepala BP3MI NTT dan sejumlah pemerhati migran Indonesia mengangguk—karena di daerah ini, keberangkatan seringkali berarti perpisahan tanpa kepastian pulang.

Belu telah lama menjadi pintu. Dari pintu itulah para anak muda, ibu rumah tangga, saudagar kecil mencatat nasib di negeri seberang. Dalam banyak kisah, ada yang kembali membawa rezeki, ada pula yang kembali tanpa nama, hanya berupa kabar.

Cristina tampak menyerap angin perbatasan dengan diam yang matang.

“Kita tidak boleh lagi memandang pekerja migran sebagai komoditas ekonomi. Mereka adalah warga negara, pemilik hak, dan penjaga muka republik di dunia luar,” tuturnya.

Kata-kata itu jatuh tidak seperti pidato, melainkan seperti surat panjang yang seharusnya telah lama dikirimkan negara kepada warganya.

Dekan UNHAN RI Mben Mboi menimpali, mencatat bahwa perbatasan membutuhkan mekanisme pengamanan manusia, bukan hanya pengamanan wilayah. Di sela rangkaian foto dan protokol, ada jeda—di mana sunyi membentang dan para pejabat saling memahami: di titik geografis paling tepi inilah, Indonesia diuji tentang makna kehadirannya.

Cristina Aryani tak berangkat sekadar membawa regulasi, tetapi membawa pesan: bahwa para pekerja migran Indonesia bukanlah statistik yang ditata dalam tabel kementerian, melainkan kisah yang harus dijaga agar tetap utuh, aman, dan bermartabat.

Dan ketika rombongan meninggalkan bandara, langit masih memudar perlahan. Tapi kali ini, angin membawa sesuatu yang berbeda: keyakinan bahwa perbatasan bukan tempat orang dilupakan—melainkan tempat negara menjemput pulang, mengawasi berangkat, dan menjaga setiap nama agar tetap kembali dengan selamat.

 

Example 300250
Penulis: Redaksi Lintastimor.id/Protokol PemkabBeluEditor: Agustinus Bobe