Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaKabupaten MimikaNasionalPeristiwa

Kaki Anjing dan Amuk Kampung: Ketika Rasa Aman Tumbang di Yatan

13
×

Kaki Anjing dan Amuk Kampung: Ketika Rasa Aman Tumbang di Yatan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

YATAN |LINTASTIMOR.ID)-Bukan dentuman atau teriakan yang pertama kali memecah sunyi di Kampung Yatan malam itu.Tapi desisan dari tungku penyulingan liar, dan gelak tawa yang telah berubah menjadi ancaman. Empat pemuda, tetangga sendiri, telah lama mengubah damai menjadi was-was. Sabtu malam, gelas-gelas miras “kaki anjing” mereka yang terakhir, membuat kesabaran warga tumpah menjadi amuk.

Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan Distrik Nambai ketika telepon berdering di Mapolsek.

Example 300x600

Suara di seberang garis penuh gelegak, bukan karena sinyal, tapi karena kemarahan yang telah mendidih bertahun-tahun.

“Warga sudah tidak tahan lagi, Pak. Mereka beramai-ramai,” lapor seseorang. Iptu Hasan Humanahu dan anak buahnya segera melesat menuju Kampung Yatan, menghadapi sebuah kalkulus rumit: menyelamatkan empat pemuda dari amarah massa, sekaligus menyelamatkan desa dari dirinya sendiri.

Di lokasi, adegannya adalah potret frustasi yang meledak. Puluhan wajah—biasanya bersahabat di ladang dan gereja—dipenuhi api kemarahan.

Di tengah lingkaran itu, empat pemuda, RN, DM, YR, dan YN, merunduk. Satu dari mereka memeluk tangannya, darah mengucur dari jari yang tersayat. Luka fisik itu hanya satu dari sekian banyak “luka” yang menjadi penyebab keributan ini. Ini bukan insiden sporadis, melainkan klimaks dari narasi panjang gangguan, rasa takut, dan ketidakberdayaan hukum yang dirasakan warga.

“Warga yang sudah geram dengan perilaku mereka selama ini, langsung mengejar…” kata Iptu Hasan, suaranya terdengar berat di telepon keesokan harinya.

Kalimat itu menggantung, menyisakan ruang kosong yang diisi oleh ingatan kolektif warga: malam-malam gaduh, ancaman, dan rasa aman yang tergerus di kampung mereka sendiri. Kapolsek itu melanjutkan, membongkar akar masalah yang sebenarnya: “Keempat pelaku sudah sering memproduksi miras dan membuat kegaduhan…” Di sini, inti persoalan terungkap. Mereka bukan sekadar pemabuk pengacau, tetapi juga produsen dari sumber masalah itu sendiri: miras oplosan “kaki anjing”. Alat-alat produksinya—tungku, selang, drum—telah diamankan polisi, menjadi bukti bisu dari sebuah industri hitam kecil yang meracuni harmoni.

Analisis hukum terhadap peristiwa ini seperti melihat dua sisi mata uang yang sama-sama berlumur dosa. Di satu sisi, tindakan penganiayaan oleh massa adalah bentuk main justice yang jelas melanggar hukum. Kedaulatan negara untuk mempidana telah diambil alih oleh emosi. Namun, sisi lainnya memantulkan pertanyaan kritis: di manakah hukum sebelum amuk itu terjadi? Polisi mengakui bahwa pola gangguan telah berlangsung “sering”. Apakah berarti aparat baru bertindak after the fact, setelah kekerasan warga terjadi? Pengamanan pelaku ke Mapolsek, seperti diungkapkan Hasan, “guna menghindari amukan warga”, justru mengisyaratkan bahwa intervensi hukum seringkali datang sebagai reaksi, bukan pencegahan. Ini menciptakan ruang kosong yang dipenuhi rasa tidak percaya, di mana warga merasa sistem formal gagal melindungi, sehingga “tangan sendiri” dianggap sebagai satu-satunya solusi.

Budaya lokal dalam komunitas seperti Yatan biasanya dibangun di atas fondasi kolektivitas yang kuat, gotong royong, dan rasa malu kolektif.

Perilaku keempat pemuda bukan hanya melanggar hukum positif, tetapi telah menginjak-injek norma sosial dan budaya setempat yang sangat menghargai ketertiban dan kehormatan bersama. Produksi miras liar tidak hanya merusak kesehatan, tetapi juga dianggap sebagai noda terhadap martabat kampung. Dalam konteks ini, amuk massa bisa dibaca sebagai bentuk “penegasan ulang” norma budaya yang telah dilanggar secara terus-menerus.

Ini adalah cara tragis komunitas membersihkan “aib” yang diakibatkan oleh sebagian anggotanya sendiri. Tindakan kekerasan itu adalah bahasa terakhir dari sebuah komunitas yang merasa nilai-nilai leluhurnya dikhianati, dan saluran hukum formal dianggap terlalu lambat atau terlalu jauh untuk memahami gempita nestapa mereka.

Hal ini tidak hendak membenarkan kekerasan. Darah yang tertumpah, baik dari luka sayat di jari maupun dari luka di hati warga, adalah bukti kegagalan multi-dimensional. Kegagalan individu menjaga sikap, kegagalan sistem hukum dalam memberikan rasa keadilan preventif, dan kegagalan komunikasi sosial sebelum mencapai titik puncak.

Insiden di Yatan adalah cermin bagi banyak daerah lain: sebuah peringatan bahwa ketika hukum hanya menjadi menara gading yang reaktif, sedangkan akar masalah—seperti industri miras liar—tumbuh subur di tengah kelemahan pengawasan dan tekanan ekonomi, maka masyarakat akan mencari “keadilan” mereka sendiri. Keempat pemuda kini “diamankan”, tetapi pertanyaannya: akankah mereka hanya menjadi pesakitan hukum, atau juga menjadi subyek dari sebuah upaya serius pemulihan sosial dan ekonomi? Dan akankah warga Yatan menemukan cara lain, selain kepalan tangan, untuk menyuarakan rasa aman mereka yang hilang? Jawabannya menentukan apakah damai di kampung itu nantinya akan lahir dari penegakan hukum yang tegas dan partisipatif, atau hanya gencatan senjata yang rapuh di antara dua kelompok yang sama-sama terluka.

Example 300250