JAKARTA | LINTASTIMOR.ID) – Di ruang rapat lantai IV Kantor Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Menteng, Kamis 4 Desember 2025, Ketua DPRD Belu, Theodorus Febby Djuang, tidak sekadar hadir sebagai tamu. Ia berdiri sebagai narasumber—sebuah suara dari tapal batas yang selama ini menyimpan dinamika, tekanan pertumbuhan, dan tafsir ruang yang seringkali beradu kepentingan.
“Perpres Nomor 5 Tahun 2023 bukan hanya dokumen tata ruang. Ia adalah arah hidup wilayah perbatasan: bagaimana Atambua harus tumbuh tanpa kehilangan jati dirinya sebagai benteng negara, ruang ekonomi, dan lanskap ekologi yang mesti dilindungi,” ujar Febby dalam sesi paparan.
Di hadapan jajaran BNPP, pejabat lintas kementerian, dan unsur perencana kawasan strategis, Febby menegaskan bahwa RDTR Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) Atambua merupakan alat operasional hukum ruang, bukan sekadar peta garis batas.
Ia hadir mewakili Belu—kabupaten yang menatap Timor Leste setiap hari, memikul fungsi ganda: pertahanan-keamanan yang strategis, sekaligus pusat sirkulasi ekonomi darat lintas negara.
RDTR sebagai Instrumen Hukum: Batas yang Mengikat, Bukan Sekadar Saran
Dalam perspektif tata hukum ruang, RDTR PKSN Atambua adalah turunan normatif yang wajib ditaati. Perpres 5/2023 memberi hierarki jelas:
- struktur ruang,
- pola ruang,
- peraturan zonasi,
- ketentuan pemanfaatan ruang,
- kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan.
Dengan itu, ruang tak lagi bersifat tafsir, melainkan rezim legal yang memuat sanksi, pembatasan, hingga larangan pemanfaatan kawasan lindung, resapan, sempadan, militer, buffer zone pos lintas batas, serta ruang ekonomi yang harus steril dari konflik kepentingan lokal.
“RDTR Atambua menjadi pedoman bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Ia memberi kepastian hukum—agar ruang tidak dieksploitasi tanpa kontrol, dan perbatasan tidak tumbuh sekadar karena desakan ekonomi,” lanjut Febby.
Operasionalisasi Perpres: Dari Dokumen Menjadi Disiplin Kebijakan
Atambua selama ini tumbuh sebagai jalan silang: jalur logistik, pergerakan manusia, pangkalan militer, dan interaksi diplomatik harian antara dua negara. Belu bukan sekadar wilayah administrasi; ia adalah zona simbolik geopolitik.
Karena itu, RDTR PKSN Atambua mutlak menjadi:
- alat integrasi kebijakan pusat–daerah,
- pengendali pembangunan agar tidak liar dan tumpang tindih izin,
- instrumen memastikan ruang ekonomi tidak merusak bentang alam dan sistem pertahanan negara.
Perbatasan: Tanah, Identitas, dan Tanggung Jawab Administrasi Ruang
Dalam esai reflektif ruang, wilayah perbatasan kerap menghadapi paradoks:
- ingin tumbuh cepat,
- namun wajib dikendalikan.
Atambua tidak boleh menjadi kota yang membesar tanpa kendali, tanpa arah, tanpa pertimbangan ekologi dan geopolitik. RDTR memberi cara pandang baru: ruang adalah mandat negara, bukan sekadar milik pemodal atau tafsir kepala daerah.
Ruang perbatasan adalah teks hukum yang hidup.
Di dalamnya melekat:
- kedaulatan,
- harmoni ekologis,
- perlintasan ekonomi,
- dan diplomasi.
Diplomasi Ruang dan Ucapan Terima Kasih
Menutup materi, Febby Juang menyampaikan apresiasi:
“Kami berterima kasih kepada BNPP yang telah menindaklanjuti koordinasi awal tiga minggu lalu dan memberi ruang resmi bagi Belu untuk bicara tentang implementasi Perpres ini. Perbatasan harus menjadi tertib ruang—sebelum menjadi tertib ekonomi dan tertib interaksi negara.”
Undangan BNPP bukan sekadar forum teknis, tetapi pengakuan negara bahwa Belu adalah halaman depan Republik, yang tak boleh dikelola seadanya.
Di titik ini, Atambua bukan lagi kota perlintasan—melainkan arsitektur kebijakan ruang yang menentukan wajah NKRI di hadapan dunia.
















