Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Menafsir Keadilan dalam Peninjauan Kembali: Antara Hak Terpidana dan Harapan Korban

117
×

Menafsir Keadilan dalam Peninjauan Kembali: Antara Hak Terpidana dan Harapan Korban

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

OPINI |Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H.
Pengamat Hukum Pidana dan Penulis Buku Filsafat Hukum & Pidana Pers

Di dalam gelanggang peradilan pidana Indonesia, ada satu ruang sunyi yang kerap disalahpahami publik: Peninjauan Kembali, atau yang sering disebut PK. Ruang inilah yang menjadi pintu terakhir bagi negara untuk mengoreksi putusannya sendiri. Namun di balik pintu itu, lahir pertanyaan yang berulang-ulang disuarakan oleh keluarga korban maupun masyarakat: “Mengapa kami tidak boleh mengajukan PK? Bukankah keadilan seharusnya milik semua orang?”

Pertanyaan itu sah. Emosinya wajar.
Tapi hukum bukan hanya bekerja dengan rasa—ia bekerja dengan asas.

Example 300x600

PK: Pintu yang Hanya Bisa Diketuk Terpidana

Dalam KUHAP, PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Tidak oleh jaksa. Tidak oleh korban. Tidak oleh siapa pun selain pihak yang sedang dirugikan oleh putusan negara.

Sepintas, ketentuan ini seperti membiarkan korban kehilangan suara. Tetapi dalam kacamata hukum pidana, logikanya jelas:
PK adalah hak konstitusional terpidana untuk melindungi diri dari kekhilafan negara.
Ia tidak pernah dirancang sebagai alat tuntutan ulang atau penajaman hukuman.

Jika jaksa atau keluarga korban diberi hak PK, maka asas ne bis in idem—larangan diadili dua kali—akan runtuh. Negara akan memiliki “nyawa tambahan” untuk menghukum, dan proses pidana akan berubah menjadi pertempuran tanpa ujung.

Peradilan pidana tidak boleh berubah menjadi arus balas dendam.

Keluarga Korban, Harapan yang Terkunci pada Pintu Lain

Keluarga korban sering berdiri di luar pagar pengadilan, memegang erat amarah dan kesedihan. Mereka berharap ada jalur untuk memperbaiki putusan yang mereka anggap terlalu ringan. Namun sistem hukum menutup pintu PK untuk mereka.

Bukan karena suara korban tidak penting, tetapi karena arsitektur hukum pidana Indonesia telah membagi peran secara tegas:

  • Jaksa mewakili kepentingan umum dan korban pada tahap penyidikan hingga kasasi.
  • PK hanya menjadi alat reflektif, memastikan negara tidak menghukum orang yang salah.

Hukum mengantisipasi bahwa keadilan tidak bisa dikejar dengan membuka kembali luka persidangan tanpa batas.

Mengapa Jaksa Tidak Boleh Mengajukan PK?

Mahkamah Agung sudah menegaskan berkali-kali:
Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki legal standing mengajukan PK.

Karena jaksa adalah representasi negara.
Dan negara tidak boleh diberikan kesempatan kedua untuk menghukum seseorang yang sudah dinyatakan selesai perkaranya.

Seandainya jaksa boleh mengajukan PK, maka:

  • Keadilan akan menjadi alat negara, bukan perlindungan warga negara.
  • Putusan inkracht tidak lagi bermakna final.
  • Proses hukum berubah menjadi siklus tanpa akhir.

Inilah filosofi besar di balik PK:
melindungi warga dari potensi kesalahan negara, bukan memberi negara kuasa tambahan.

PK sebagai Ruang Kontemplasi Hukum

PK bukan arena emosional.
PK bukan tempat untuk memperkuat tuntutan.
PK adalah ruang kontemplasi hakim, tempat fakta baru (novum) memancarkan cahaya kecil yang mungkin mengubah takdir hukum seseorang.

PK adalah pengingat bahwa negara yang kuat bukan negara yang selalu benar,
tetapi negara yang berani menerima kemungkinan salah.

Antara Dua Kebenaran

Dalam setiap perkara pidana, selalu ada dua kebenaran:

  • Kebenaran korban, yang direbut oleh rasa kehilangan.
  • Kebenaran terpidana, yang mungkin terampas oleh proses.

Dan negara harus memilih satu jalan yang menjamin keseimbangan antara keduanya.

Itulah sebabnya PK tetap menjadi hak eksklusif terpidana.
Karena hukum pidana tidak boleh berdiri di atas semangat balas dendam.
Ia harus berdiri di atas prinsip bahwa setiap warga—bahkan yang bersalah sekalipun—berhak atas perlindungan terakhir dari kekhilafan negara.

Keadilan Tidak Boleh Tergesa-gesa

Dalam hiruk pikuk perdebatan publik, kita perlu mengingat:
keadilan yang baik bukan keadilan yang memuaskan emosi,
melainkan keadilan yang mematuhi asas sampai tuntas.

PK adalah bagian dari rangkaian itu.
Pintu kecil yang hanya bisa diketuk oleh terpidana,
karena negara tidak boleh semena-mena dalam menghukum.

Sebab keadilan yang lahir dari amarah hanya menghasilkan luka baru,
tetapi keadilan yang lahir dari prinsip akan menjadi fondasi bagi negara yang benar-benar adil.

 

Example 300250