Festival Duarato dan Cahaya Warisan Leluhur
ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)-Duarato bergetar oleh denting gong pertama. Suaranya memantul di lembah Lamaknen, seperti membuka kembali pintu-pintu ingatan yang pernah ditinggalkan angin.
Ritus yang Menghidupkan Kembali Cerita Lama
Festival “Tais Selu Hananu” dibuka di Kampung Adat Tae Bere Hol Sa’, Jumat (28/11/2025). Gong dan gendang ditabuh sebagai simbol memohon perlindungan Tuhan sekaligus memanggil roh-roh cerita lama untuk kembali mengajar generasi hari ini.
“Festival ini bukan sekadar perayaan.
Ini ikhtiar kita menjaga identitas,
agar Belu tidak kehilangan nadinya.”
— Antonia Wilfrida Rouk, Kabid Kebudayaan
Dua Hari Menyulam Ingatan Kolektif
Selama dua hari, Desa Duarato berubah menjadi ruang belajar besar. Jalan Budaya dibuka, pos sejarah disinggahi, rumah adat diketuk dengan hormat, drama musik dimainkan, dan Tebe Duarato serta Tebe Zupmara menggetarkan tanah dengan hentakan yang seirama detak nenek moyang.
“Pelestarian budaya hanya mungkin
jika seluruh masyarakat merasa memiliki.”
— Antonia Wilfrida Rouk
Setiap langkah warga seakan menegaskan bahwa budaya bukan objek tontonan, melainkan rumah yang selalu ingin mereka pulangkan.
Generasi Muda dan Tanggung Jawab Warisan
Anak-anak dan remaja terlihat mengikuti proses belajar budaya dengan mata yang berbinar. Di antara anyaman tais, kayu rumah adat, dan cerita para tetua, mereka menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar festival: masa depan yang bertumpu pada akar.
“Kami ingin anak-anak Belu tahu bahwa budaya
bukan milik masa lalu—melainkan bekal
untuk menjemput masa depan.”
— Kabid Kebudayaan
Dari Perbatasan, Untuk Dunia
Festival dihadiri unsur pemerintah pusat-daerah, tokoh adat, akademisi, sekolah, dan masyarakat lokal. Namun gema terpentingnya bukan jumlah tamu, melainkan harapan bahwa acara ini akan menjadi agenda tetap yang memperkuat pariwisata budaya Belu.
“Semoga festival ini menjadi gerakan berkelanjutan
yang menguatkan citra Belu
sebagai pusat kebudayaan perbatasan.”
Lintastimor.id — Suara dari Perbatasan untuk Dunia
Duarato sudah menyampaikan pesannya: budaya hidup selama ada yang merawatnya. Dan dari kampung di tepi batas negara ini, Belu kembali menegaskan dirinya—bangga, luhur, dan tak pernah kehilangan cahaya.
















