Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
HiburanPeristiwa

Sanur yang Retak di Bawah Matahari: Ketika Wisata, Ego, dan Transportasi Saling Bertubrukan

464
×

Sanur yang Retak di Bawah Matahari: Ketika Wisata, Ego, dan Transportasi Saling Bertubrukan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

SANUR |LINTASTIMOR.ID)— Matahari terbit di Sanur selalu menghadirkan siluet damai. Tetapi pagi itu, ketenangan pecah oleh suara yang tak seharusnya hadir di ruang wisata: cekcok, nada tinggi, dan saling tunjuk yang terekam jelas dalam sebuah video yang kemudian viral.

Seorang wisatawan asing, Emily Carter (28), tampak bersitegang dengan seorang pria yang diduga oknum sopir lokal. Ia mencoba menjelaskan bahwa ia hanya ingin memesan Grab—hak dasar seorang pengunjung untuk memilih moda transportasinya sendiri. Namun, ia dihadang dengan dalih klasik yang telah sering terdengar: “Ini wilayah kami.”

Example 300x600

Sanur, yang mestinya menjadi halaman depan keramahan Bali, justru menampilkan retakan sosial yang tak lagi bisa disembunyikan. Persinggungan antara transportasi daring dan kepentingan kelompok tertentu telah lama menjadi bara kecil—yang akhirnya menyala menjadi api.

Cerita yang Terjadi Pagi Itu

Para wisatawan hari itu mengaku tak bisa memesan Grab. Sinyal tiba-tiba hening di layar ponsel mereka, bukan karena gangguan jaringan, melainkan karena batas tak kasat mata yang dipasang oleh kelompok sopir setempat.

Mereka dipaksa berjalan jauh, keluar dari area pelabuhan, hanya agar bisa memesan kendaraan online tanpa dihadang. Beberapa turis bercerita mengalami intimidasi, sebagian bahkan ditawari tarif lokal yang melambung dua kali lipat dari harga aplikasi.

Emily, dalam video yang beredar, tampak mencoba menjaga nada suaranya tetap rendah. Namun kegusaran tetap muncul ketika ia menyampaikan kalimat yang menjadi highlight pembicaraan publik:

“I’m just trying to go home. This shouldn’t feel like a fight.”
(Saya hanya ingin pulang. Seharusnya ini tidak terasa seperti pertarungan.)

Kutipan itu, yang kini dibagikan ribuan kali, menjadi simbol betapa rentannya kenyamanan wisatawan di bawah sistem transportasi yang amburadul.

Sorotan Publik yang Menggelegar

Video cekcok itu langsung memicu perbincangan luas. Banyak netizen menilai keadaan tersebut berpotensi merusak citra Bali—sebuah destinasi yang selalu menjual narasi keramahan dan kenyamanan.

Beberapa komentar dari wisatawan lain bahkan lebih pedas:

“Beautiful island, but the system? It scares us.”
(Pulau yang indah, tapi sistemnya? Itu menakutkan kami.)

“Tourism shouldn’t feel like negotiating with threats.”
(Pariwisata tidak seharusnya terasa seperti bernegosiasi dengan ancaman.)

Kata-kata itu menghujam seperti cermin retak yang memaksa semua pihak melihat bayangan buruk yang selama ini dihindari.

Transportasi Bali: Luka Lama yang Tak Pernah Diobati

Masalah penataan transportasi di titik-titik wisata Bali bukanlah cerita baru. Dari Kuta, Ubud, hingga Sanur—gesekan antara sopir konvensional dan transportasi daring selalu berulang seperti bab yang tak kunjung ditutup.

Inti masalahnya sama: regulasi yang tidak pernah benar-benar tegas, dan kepentingan kelompok yang lebih kuat daripada kenyamanan publik.

Sanur, yang seharusnya menjadi gerbang menuju Nusa Penida, kembali menjadi panggung persoalan struktural: kurangnya pengawasan, aturan yang tumpang tindih, dan ego sektoral yang seringkali dibiarkan berkembang liar.

Harapan di Tengah Keretakan

Wisatawan kini berharap ada titik terang. Mereka meminta pemerintah daerah turun tangan bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pengambil keputusan yang berani.

Sebab pariwisata bukan hanya soal pantai yang indah dan budaya yang memukau—melainkan pengalaman utuh yang aman, manusiawi, dan bebas dari intimidasi.

Seperti kata Emily sebelum video berakhir:

“Bali is beautiful. Please don’t let this be the memory tourists bring home.”
(Bali itu indah. Tolong jangan biarkan ini menjadi kenangan yang dibawa pulang wisatawan.)


Di bawah cahaya matahari yang menghangatkan Sanur, ada luka yang kini sedang disorot dunia. Luka itu bernama penataan transportasi—retakannya kecil, tapi jika dibiarkan, ia bisa membelah kepercayaan wisatawan pada Bali.

Dan ketika kepercayaan itu runtuh, pariwisata tak lagi memancarkan cahaya.
Yang tersisa hanya bayang-bayang yang kita ciptakan sendiri.

Example 300250