TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)—
Di Mimika, ancaman bencana bukan sekadar angka di atas tabel. Ia adalah denyut harian yang menguji kesiapan, kebijakan, dan solidaritas. Karena itu, Lokakarya Akhir Konsultasi Publik Penyusunan RPB 2025–2029 yang digelar Kamis (20/11) tak hanya menjadi agenda formal, melainkan momentum untuk merawat satu ikhtiar bersama: membangun Mimika yang tangguh.
Asisten I Setda Mimika, Ananias Faot, menyebut dokumen ini sebagai lebih dari sekadar persyaratan administrasi.
“RPB adalah peta jalan keselamatan bagi seluruh warga Mimika.”
— Ananias Faot, Asisten I Setda Mimika
Kalimat itu menegaskan perubahan cara pandang yang tengah didorong pemerintah: dari reaktif menjadi proaktif. Penanggulangan bencana, kata Ananias, tak bisa lagi hanya menunggu sirene darurat berbunyi. Ia harus disiapkan jauh sebelum ancaman datang—di meja perencanaan, dalam rancangan anggaran, hingga pada keputusan pembangunan yang menyentuh kampung-kampung paling jauh.
Dalam sambutannya, ia mengingatkan OPD agar menjadikan RPB sebagai kompas pembangunan. Program pengurangan risiko bencana harus masuk ke dalam Renstra dan Renja. Anggaran mitigasi tak bisa lagi menjadi lampiran kecil yang mudah tersisih.
“Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus berjalan dalam satu arah. CSR dan Community Development pun perlu disejajarkan dengan dokumen RPB.”
— Ananias Faot
Kerja kolaboratif, menurutnya, adalah satu-satunya jalan agar sumber daya yang tersebar dapat dikumpulkan menjadi tenaga bersama.
Di sisi lain, Sekretaris BPBD Mimika, Betrix Pademme, memaparkan bahwa penyusunan RPB telah ditempa melalui berbagai tahapan asistensi, konsultasi, dan sosialisasi dengan OPD teknis.
“RPB harus disusun berdasarkan data yang akurat, risikonya jelas, dan tindakan penanggulangannya terukur.”
— Betrix Pademme, Sekretaris BPBD Mimika
Struktur dokumen yang memuat penilaian risiko, gambaran wilayah, pilihan tindakan, hingga mekanisme penanggulangan bencana menunjukkan pendekatan holistik yang kini menjadi standar. Keterlibatan narasumber dari BPBD Provinsi Papua sebagai konsultan memperkuat gagasan bahwa Mimika tak sedang berjalan sendirian. Ia belajar, mengadopsi praktik terbaik, dan menyesuaikannya dengan karakter geografinya sendiri.
Lokakarya yang dihadiri OPD, lembaga swasta, organisasi masyarakat sipil, tokoh adat, hingga warga biasa itu memperlihatkan satu hal: kesadaran bersama yang tumbuh. Bahwa bencana bukan urusan satu dinas, bukan tanggung jawab segelintir petugas di lapangan, melainkan kepedulian kolektif yang harus dirawat dari pusat kota hingga kampung-kampung yang dihimpit sungai, hutan, dan lereng rapuh.
Di balik diskusi teknis, sesungguhnya ada refleksi yang lebih dalam: bagaimana membangun daerah yang kuat bukan hanya dengan bangunan, tetapi dengan pengetahuan, kesiapan, dan kebersamaan.
Lokakarya RPB 2025–2029 menjadi simpul awal untuk itu. Dari ruangan ini, Mimika menandai langkah barunya—menyusun strategi, menata risiko, dan membangun ketahanan jangka panjang. Dengan arah yang lebih terukur dan komitmen yang diperkuat, Mimika berharap tak hanya siap menghadapi bencana, tetapi mampu melampauinya, menjaga warganya, dan tumbuh dengan lebih berkelanjutan.
















