KUPANG |LINTASTIMOR.ID)— Sebuah video berdurasi 26 detik meluncur deras di media sosial, memecah hening koridor-koridor pendidikan kepolisian. Di dalamnya, dua siswa SPN Kupang berdiri ketakutan sementara seorang anggota Polri—Bripda Torino Tobo Dara—mengangkat tangannya berkali-kali, memukul wajah, dada, dan kepala mereka. Adegan itu kini berujung pada satu konsekuensi paling berat: pemecatan dengan tidak hormat.
Kepala Bidang Humas Polda NTT, Kombes Hendry Novika Chandra, menyebut putusan itu merupakan hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar Selasa, 18 November 2025.
“Sidang KKEP memutuskan PTDH. Tindakan ini telah mencederai nilai-nilai dasar kepolisian,” ujar Hendry, Rabu (19/11/2025).
Putusan KKEP Nomor PUT/58/XI/2025/KKEP menyatakan:
- Perbuatan tercela,
- Penempatan di tempat khusus (Patsus) 20 hari,
- Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Bripda Torino menyatakan banding. Tetapi langkah hukum internal ini tidak menghapus fakta bahwa tindakan kekerasannya telah dipandang bertentangan dengan martabat profesi, hukum pidana, dan prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan kepolisian.
Video Kekerasan yang Mengguncang
Dalam rekaman yang viral itu, salah satu siswa sempat memohon: “Jangan pukul, komandan.” Permintaan itu tak digubris. Torino menendang, memukul bergantian, dan mempermalukan dua siswa yang seharusnya ia bimbing. Salah satu hampir roboh setelah hantaman keras.
Video ini menjadi bukti tak terbantahkan yang akhirnya membuka jalan pada persidangan etik.
Analisis Hukum Pidana: Kekerasan yang Dapat Dipidana
Tindakan Torino memenuhi unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 351 KUHP. Kekerasan yang mengakibatkan sakit atau luka fisik dapat berujung pada ancaman pidana penjara. Unsur kesengajaan tampak nyata:
- aksi dilakukan berulang-ulang,
- korban meminta dihentikan,
- pelaku tetap melanjutkan.
Dalam sistem disiplin internal Polri, bukti kekerasan tidak hanya dinilai dari akibat fisik, tetapi juga dari niat dan intensitas perbuatannya. Video itu menjadi alat bukti digital yang kuat, memenuhi Pasal 5 UU ITE tentang alat bukti elektronik.
Kode Etik Polri: Seragam yang Harus Dijaga
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI menegaskan bahwa anggota Polri wajib:
- menjunjung tinggi HAM,
- menjaga martabat profesi,
- melaksanakan tugas tanpa kekerasan berlebihan.
Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Profesi (Perpol Nomor 7 Tahun 2022) mengatur bahwa:
- anggota wajib menghindari tindakan yang dapat mencoreng institusi,
- larangan melakukan kekerasan di luar prosedur,
- larangan mempermalukan rekan didik atau bawahan.
Tindakan Bripda Torino melabrak seluruh prinsip ini: profesionalitas, proporsionalitas, dan integritas. Lebih jauh, tidak ada alasan kedinasan yang membenarkan penghukuman fisik di lembaga pendidikan kepolisian.
Refleksi: Ketika Pendidikan Menjadi Luka
Pendidikan kepolisian adalah tempat menanamkan disiplin, bukan menebar rasa takut. Ruang-ruang diklat semestinya menjadi arena pembentukan karakter, bukan kekerasan.
Tindakan Torino menciptakan luka berlapis:
- luka fisik pada siswa,
- luka mental yang mungkin menetap,
- dan luka moral bagi lembaga kepolisian.
Viralnya video ini membuka kembali perdebatan lama: bagaimana memastikan pendidikan kepolisian bebas dari kultur kekerasan? Apakah hukuman fisik masih dianggap cara mendidik? Sudah cukup lama masyarakat menuntut pembaruan kultur disiplin yang humanis dalam tubuh Polri.
Sikap Institusi: Tegas dan Menjaga Marwah
Kombes Hendry menegaskan:
“Tindakan tegas perlu diambil demi menjaga kehormatan institusi dan memberi pesan kuat kepada seluruh personel.”
Kalimat itu bukan sekadar pernyataan, tetapi sinyal institusional bahwa Polri terus menata diri. Bahwa profesi kepolisian menuntut kendali diri yang lebih tinggi dibanding warga biasa. Bahwa kekuasaan, jika tidak diimbangi etika, bisa berubah menjadi kekerasan.
Putusan PTDH mungkin berat, tetapi ia menjadi penanda: seragam Polri memiliki kehormatan yang harus dijaga. Menjaganya berarti berani menghukum anggotanya sendiri ketika melanggar.
Dan dari sebuah video berdurasi 26 detik, institusi ini kembali belajar bahwa transparansi publik—meski terkadang menyakitkan—adalah jalan menuju pembenahan.
















