TIMIKA |LINTASTIMOR.ID)-Kota Baru Mimika kembali menjadi ruang dialog: antara rencana yang digambar di meja perencana dan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat.
Di sebuah hotel di Timika, Senin pagi itu terasa berbeda. Para pimpinan OPD, wakil LSM, Lemasa, serta berbagai unsur masyarakat duduk dalam satu ruangan yang sama—bukan untuk meresmikan sesuatu, tetapi untuk membicarakan masa depan. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Baru Mimika 2025 mulai dibedah dalam konsultasi publik perdana, sebuah tahap krusial untuk memastikan bahwa wilayah ini tumbuh bukan hanya besar, tetapi juga benar.
Kolaborasi antara Dinas PUPR Mimika dan LPPM Universitas Kristen Santo Paulus Makassar—yang bertindak sebagai pendamping teknis—menjadi penanda bahwa penyusunan RDTR kali ini tidak sekadar formalitas. Ada keinginan untuk menyatukan sains, aturan, dan suara publik dalam satu dokumen ruang.
Melalui Plt. Asisten I Setda Mimika, Ananias Faot, Bupati Mimika Johannes Rettob menyampaikan peringatan yang sekaligus menjadi penegasan.
▌ “RDTR adalah fondasi penting dalam penataan ruang,” katanya, seolah menggarisbawahi bahwa sebuah kota tak lahir dari beton dan gedung, melainkan dari arah yang disepakati bersama.
▌ “Penyusunan ini harus tunduk pada regulasi dan menjadi pedoman jangka panjang.”
Kota Baru Mimika memikul tugas besar: menjadi pusat pertumbuhan baru bagi permukiman, layanan publik, pemerintahan, hingga kegiatan ekonomi. Tetapi sebuah kota tanpa tata ruang hanya akan tumbuh liar. RDTR hadir sebagai penuntun—dari zoning hingga pemanfaatan ruang, dari perlindungan kawasan lindung hingga penyediaan ruang terbuka hijau yang kian langka.
Konsultasi publik hari itu jadi ruang untuk kembali mengingat bahwa pembangunan bukan hanya tentang membangun, tetapi juga tentang menjaga. Bahwa kota yang baik bukan hanya nyaman dihuni, tetapi juga selaras dengan lingkungan yang menopangnya.
Pemateri dari LPPM UKI Paulus memaparkan perlunya data spasial yang akurat, analisis teknis komprehensif, serta kesesuaian dengan RTRW dan RPJMD Mimika. RDTR hanya bisa hidup jika ia berpijak pada kenyataan: survei lapangan, peta-peta yang terbaca jelas, dan suara masyarakat yang tidak dinafikan.
Ananias menegaskan kembali arah itu.
▌ “Penyusunan RDTR harus mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan,” ujarnya.
▌ “Dokumen ini akan menjadi dasar kuat bagi penerbitan KKPR dan pengendalian pemanfaatan ruang.”
Apresiasi pun mengalir kepada tim penyusun yang telah bekerja dalam diam: mengumpulkan data, menapaki medan, menandai batas-batas sensitif, hingga merajut konsep awal yang kelak diuji publik. Pemerintah daerah menargetkan dokumen RDTR ini selesai tepat waktu, memperoleh persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN, dan ditetapkan menjadi peraturan kepala daerah.
Di balik rangkaian paparan teknis dan regulasi, ada esai reflektif tentang sebuah kota yang ingin dilahirkan dengan niat baik. Kota Baru Mimika sedang menulis bab pertama tentang dirinya—dan konsultasi publik ini adalah kesempatan bagi warga untuk memastikan bahwa bab itu ditulis dengan hati-hati, jujur, dan berpijak pada masa depan yang berkelanjutan.
















