Belu kembali menguji dirinya—melalui para pemimpinnya.
ATAMBUA ||LINTASTIMOR.ID)—Pada Senin pagi yang tenang di Gedung Wanita Betelalenok, Wakil Bupati Belu Vicente Hornai Gonsalves, ST, membuka sebuah proses yang tak sekadar administratif, melainkan sebuah cermin: Uji Kompetensi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama 2025.
Di hadapan delapan pejabat tinggi yang hadir sebagai peserta, Vicente menyampaikan sesuatu yang terdengar sederhana namun mengandung kedalaman: bahwa sebuah jabatan hanya layak dihuni oleh kompetensi, bukan sekadar senioritas atau kebiasaan lama.
“Uji kompetensi adalah langkah penting untuk memastikan kesesuaian antara jabatan dan kemampuan yang dimiliki seorang ASN,” ujar Vicente—tenang namun berbalok, seperti diksi yang telah lama dipikirkan, bukan sekadar dibacakan.
Menguji Para Penjaga Birokrasi
Uji kompetensi tahun ini diikuti Sekretaris Daerah, Inspektur, sejumlah Kepala Dinas, dan Kepala Badan—nama-nama yang sehari-hari menggerakkan denyut pemerintahan Belu. Di balik formalitasnya, uji ini sesungguhnya adalah pertarungan sunyi: bagaimana para pemimpin menakar ulang dirinya di tengah tuntutan publik yang makin kritis dan kompleks.
Vicente menggambarkan uji ini bukan sebagai ritual rutin yang harus digugurkan. Ada nuansa reformasi birokrasi yang ia tekankan—sebuah catatan bahwa kapasitas pejabat tak lagi hanya diukur dari pengalaman, tetapi dari kompetensi yang dapat diuji, diukur, dan dipertanggungjawabkan.
“Proses ini bukan sekadar formalitas, tetapi evaluasi bermakna untuk mengukur pemahaman pejabat terhadap tugas pokok dan fungsinya,” tegasnya.
“Kita ingin memastikan setiap pemangku jabatan menerapkan prinsip manajemen pemerintahan yang baik.”
Ada nada reflektif dalam pidato itu—bahwa birokrasi bukan lagi urusan mengelola kantor-kantor pemerintahan, tetapi mengelola harapan masyarakat.
Mutasi, Merit, dan Masa Depan
Vicente mengingatkan bahwa uji kompetensi menjadi syarat mutlak untuk mutasi antar jabatan JPT. Di balik pernyataan itu ada pesan tersirat: era “penempatan berdasarkan kedekatan” sudah usai—setidaknya sedang berusaha diberi jarak.
Ia menekankan sistem merit—sebuah istilah yang sering terdengar dalam wacana nasional, tetapi baru terasa bobotnya ketika disampaikan langsung di hadapan para pejabat yang akan dinilai.
Panitia, katanya, harus mengelola proses ini secara objektif, transparan, dan akuntabel—tiga kata yang sering terucap, namun jarang benar-benar ditegakkan. Di sinilah ekspektasi publik menggantung.
Sebuah Harapan yang Tak Dirayakan Secara Berlebihan
Seperti banyak acara birokrasi lainnya, tidak ada tepuk tangan meriah, tidak ada gegap gempita. Yang ada hanya barisan kursi, formulir evaluasi, dan wajah-wajah yang—barangkali—sedang mengukur ulang jalan karier mereka sendiri.
Vicente menutup dengan sebuah harapan yang sederhana namun tajam:
“Semoga hasil uji kompetensi ini menjadi dasar peningkatan kinerja birokrasi dan memperkuat pembangunan daerah.”
Kalimat itu tidak menjanjikan keajaiban, tidak juga menawarkan jalan pintas. Tetapi dalam konteks Belu, sebuah kabupaten perbatasan yang selalu menantang dirinya untuk lebih baik, kalimat itu cukup: sebuah pengingat bahwa pembangunan tidak hanya dikerjakan oleh banyak program, tetapi oleh pejabat-pejabat yang layak mengembannya.
Di ruangan itu, birokrasi Belu seperti sedang melakukan ritualnya sendiri: menata ulang wajah, menyortir kemampuan, dan—dengan caranya yang pelan—membangun harapan baru.
















