Di balik setiap botol sopi yang terbuka, ada dua kemungkinan lahir: hangatnya persaudaraan atau luka baru dalam ruang sosial kita. Pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan nasib itu ditentukan oleh kebetulan?
Sopi, Kekerasan, dan Kita: Refleksi Hukum atas Luka Sosial di Perbatasan
Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H.
Sopi — minuman yang lahir dari tanah, pohon, dan leluhur — dalam budaya Timor selalu punya dua wajah. Pada satu sisi, ia adalah simbol penerimaan; pada sisi lain, ia terus muncul dalam catatan-catatan kriminal yang seakan tak pernah selesai. Kita mesti jujur: konflik, penganiayaan, pembunuhan spontan, hingga pemerkosaan seringkali berkelindan dengan alkohol. Namun menuduh sopi sebagai aktor tunggal adalah kekeliruan. Persoalan ini lebih dalam, lebih manusiawi, dan lebih struktural daripada sekadar mabuk semalaman.
Dalam pendekatan kriminologi modern, alkohol disebut sebagai faktor kriminogen situasional: ia memperlemah kontrol diri, memicu impuls, dan menciptakan ruang bagi tindakan kekerasan. Seorang tokoh adat pernah berkata dalam sebuah diskusi kecil, “Sopi itu tidak jahat. Yang jahat itu manusia yang kehilangan malu setelah meneguknya.” Kutipan itu sederhana tetapi menohok sekaligus mengandung inti persoalan: masalah bukan pada cairan bening itu, tetapi pada ekologi sosial yang mengitarinya.
Secara empirik, banyak kasus pembunuhan di daerah pedalaman tidak pernah direncanakan. Mereka terjadi cepat, emosional, dan penuh penyesalan — kategori yang dalam hukum pidana dikenal sebagai expressive violence. Sopi mengambil peran sebagai pemantik, bukan dalang. Ia membuka pintu bagi konflik kecil berubah jadi tragedi, bagi perdebatan berubah jadi darah, bagi kawan menjadi lawan.
Tetapi dari sudut viktimologi, persoalannya jauh lebih kompleks. Korban bukan hanya mereka yang jatuh di tanah dengan luka tusuk atau memar. Korban adalah istri yang dipukul malam hari, anak yang tumbuh dalam rumah penuh teriakan, keluarga yang kehilangan penghasilan karena kepala rumah tangga kecanduan, dan komunitas adat yang lambat laun kehilangan mekanisme kontrol sosialnya. Korban bahkan bisa jadi adalah pelaku itu sendiri — orang kampung biasa yang kehilangan akal sehatnya karena tekanan, kemiskinan, atau beban hidup yang tidak pernah diurai oleh negara.
Di titik ini, kita perlu bertanya: apakah sopi masih memelihara budaya atau telah menyakiti budaya? Dalam ritual adat, sopi bukan alat mabuk. Ia adalah bahasa. Ia mengikat keluarga, membuka ruang rekonsiliasi, dan menghangatkan perjumpaan. Tetapi ketika sopi menjelma komoditas yang diproduksi tanpa norma adat, dikonsumsi tanpa ritus, dan diperjualbelikan tanpa batas, makna budaya itu runtuh dengan sendirinya.
Kita juga tak boleh mengabaikan sisi ekonomi. Produksi alkohol lokal memang memberi pemasukan bagi sebagian warga, bahkan menjadi identitas usaha kecil. Namun biaya sosial yang lahir — biaya kesehatan, kekerasan rumah tangga, kriminalitas, proses hukum, keretakan komunitas — jauh lebih besar daripada rupiah yang beredar dari penjualan tiap botol. Tidak ada ekonomi yang sehat di atas penderitaan berulang.
Dalam refleksi hukum, kita harus melampaui sekadar perdebatan antara “larang total” atau “biarkan saja.” Solusi hukum harus bertumpu pada tiga fondasi:
- Regulasi yang mengakui budaya, bukan menghapusnya.
- Kontrol distribusi dan sanksi yang tegas bagi penyalahgunaan, bukan kriminalisasi ritual adat.
- Pendidikan sosial yang memulihkan relasi manusia, karena akar persoalan tetap berada pada nilai, karakter, dan lingkungan sosial.
Pada akhirnya, sopi adalah cermin. Dalam pantulan cairannya, kita melihat siapa kita sebenarnya: masyarakat yang sedang bergulat antara tradisi dan modernitas, antara ekonomi dan etika, antara kebanggaan budaya dan luka sosial yang terus membayang. Pertanyaannya kini sederhana tetapi menentukan: apakah kita akan membiarkan botol tetap menentukan takdir, atau kita memilih mengatur ulang relasi kita dengannya secara lebih bermartabat?
Jawabannya ada pada kita — bukan pada sopi.
















