Laporan Khusus Lintastimor.id | Suara dari Perbatasan untuk dunia
ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID)— Di tengah semangat membangun dari pinggiran, Pemerintah Kabupaten Belu kembali menegaskan pentingnya kemandirian ekonomi desa. Melalui program One Village One Product (OVOP), setiap desa didorong melahirkan satu produk unggulan khas—sebuah identitas yang tak sekadar menjual hasil bumi, tapi menanam harga diri dan martabat masyarakatnya.
Kamis (13/11/2025), Gedung Wanita Betelalenok Atambua menjadi ruang perjumpaan gagasan. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) NTT menggandeng para pemangku kepentingan untuk menyosialisasikan program OVOP. Hadir dalam kegiatan itu Wakil Bupati Belu Vicente Hornai Gonsalves, ST, bersama Kepala BP3MI Provinsi NTT, BPJS Ketenagakerjaan, perwakilan Dinas PMD Provinsi, kepala desa, serta para pendamping profesional dari Kabupaten Belu dan Malaka.
Dalam sambutannya, Wabup Vicente menegaskan bahwa program ini merupakan pengejawantahan dari visi besar Dasa Cita Pemerintah Provinsi NTT, yakni “Dari Ladang dan Laut ke Pasar: Efisien, Modern, dan Aman.”
“Kita ingin setiap desa di Provinsi NTT memiliki satu produk unggulan yang khas, yang bisa menjadi identitas sekaligus sumber kesejahteraan masyarakatnya,”
— Vicente Hornai Gonsalves, ST | Wakil Bupati Belu
Ia menatap masa depan desa dengan pandangan optimistis. Bagi Vicente, kekayaan alam dan budaya NTT ibarat tambang emas yang belum seluruhnya digali. Dari kopi yang harum di pegunungan, tenun ikat yang menyimpan kisah leluhur, hingga madu hutan dan rumput laut yang tumbuh di pesisir. Semua punya potensi—namun yang dibutuhkan adalah cara pandang baru: mengolah, mengemas, dan memasarkan dengan nilai tambah dan daya saing modern.
Lebih dari sekadar pameran produk, program OVOP mengajarkan desa untuk mengenali dirinya sendiri. Bahwa di balik setiap hasil tangan dan bahan alam, ada kebanggaan yang bisa menjelma menjadi kesejahteraan.
“Sosialisasi ini bukan hanya soal produk unggulan, tetapi tentang membangun kemandirian, kebanggaan, dan kesejahteraan masyarakat desa,”
— ujar Wabup Vicente dalam nada yang penuh refleksi.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak hanya berorientasi pada pekerjaan di luar daerah. “Desa harus menjadi ruang hidup yang produktif, bukan sekadar tempat pulang,” tegasnya. Dalam pandangan Wabup Vicente, kemandirian ekonomi desa akan tumbuh bila ada kolaborasi antara pemerintah desa, pendamping profesional, dan pemerintah daerah.
Tak hanya berbicara ekonomi, Vicente juga menyinggung aspek perlindungan sosial. Melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, ia ingin memastikan bahwa setiap warga desa yang bekerja dan berusaha memiliki jaring pengaman.
“Kegiatan sosialisasi ini kita harap mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya perlindungan sosial dan peluang menciptakan lapangan kerja baru di desa,”
— tutupnya dengan nada optimistis.
Program OVOP di Belu bukan sekadar kebijakan. Ia adalah upaya membangun masa depan yang berakar pada tanah sendiri—menjadikan desa bukan lagi objek pembangunan, tetapi subjek yang menentukan arah hidupnya.
Dan dari setiap tenun, kopi, atau madu yang lahir di tangan rakyat kecil, sesungguhnya sedang tumbuh sesuatu yang lebih besar dari sekadar ekonomi: harga diri sebuah daerah yang memilih berdikari.
















