Dari riuh angin laut dan desir akar mangrove yang menjalin di muara Pomako, lahir harapan baru untuk Mimika—tentang bagaimana alam dan ekonomi bisa berjalan seirama, tanpa saling melukai.
MIMIKA |LINTASTIMOR.ID]— Bupati Mimika Johannes Rettob menjemput pagi dengan perjalanan diplomatik yang tak biasa. Bersama Duta Besar Seychelles untuk ASEAN, Nico Barito, ia menyusuri sungai Pomako hingga perairan Portsite, Rabu (12/11). Bukan sekadar kunjungan, tetapi langkah kecil menuju masa depan besar: ekonomi hijau dan biru yang berkelanjutan di Mimika.
Di atas perahu kayu, di tengah hutan mangrove yang rimbun, Bupati Rettob memaparkan potensi dan kekayaan alam yang dimiliki Mimika—pelabuhan rakyat, kawasan pesisir, hingga area konservasi yang menjadi nadi kehidupan masyarakat.
“Kami memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan tanpa harus merusak lingkungan,” ujar Bupati Rettob dengan nada mantap.
“Masyarakat asli kita hidup berdampingan dengan sungai dan mangrove, tapi belum sepenuhnya mampu memanfaatkannya secara maksimal. Melalui kerja sama ini, kami ingin agar hasil laut seperti kepiting, udang, dan ikan memberi nilai ekonomi lebih besar bagi mereka.”
Langkah konkret itu bukan sekadar wacana. Pemerintah Kabupaten Mimika bersama Pemerintah Provinsi Papua Tengah dan Pemerintah Seychelles telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dan membentuk tim kerja bersama. Inisiatif ini menjadi fondasi bagi pengembangan pilot project ekonomi hijau dan biru berbasis kearifan lokal—sebuah simbiosis antara pengetahuan adat dan teknologi modern.
Sementara itu, Dubes Seychelles Nico Barito mengaku terpesona oleh panorama dan potensi alam Mimika. Ia menyebut kawasan mangrove di Pomako sebagai laboratorium hidup yang menyimpan banyak pelajaran bagi dunia.
“Ini kunjungan kedua saya ke Mimika. Saya melihat lebih dari tiga jenis mangrove dengan bentuk akar berbeda.
Hutan mangrove di sini adalah buffer zone alami yang luar biasa. Alam dan laut Mimika benar-benar memiliki potensi besar,” tutur Dubes Nico.
Menurutnya, kekayaan alam Mimika bukan hanya terletak pada hasil laut, tapi juga dalam peluang ekowisata yang mengedepankan keseimbangan dan keberlanjutan. Seychelles—negara kepulauan yang hidup dari laut dan konservasi—ingin berbagi pengalaman itu dengan Mimika.
“Kami di Seychelles sangat menghargai alam,” katanya.
“Kami ingin berbagi pengalaman agar masyarakat lokal Mimika dengan kearifan tradisionalnya dapat bersaing dalam ekonomi hijau dan pariwisata berkelanjutan.”
Dalam percakapan yang mengalir di atas perahu, Dubes Nico menyinggung rencana pengembangan Pulau Karaka menjadi kampung nelayan internasional dengan konsep pemberdayaan masyarakat, seperti di pesisir Hong Kong atau Lemnan.
“Kita ingin masyarakat di sana direvitalisasi agar menjadi nelayan modern tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal,” ujarnya.
“Ini bisa menjadi contoh pengelolaan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan.”
Bagi Nico Barito, kerja sama Mimika–Seychelles bukan sekadar kunjungan diplomatik, melainkan model kolaborasi global dalam menjaga bumi dan menggerakkan ekonomi lokal.
“Hutan mangrove dan laut Mimika adalah aset luar biasa,” katanya menutup percakapan sore itu.
“Jika dikelola dengan baik, akan membawa manfaat besar bagi masyarakat dan menjadi contoh ekonomi hijau yang sukses di Indonesia.”
Dan di antara riuh ombak Pomako, gema kata-kata itu menggantung lama di udara—seperti doa, seperti janji: bahwa Mimika akan terus hijau, dan lautnya tetap biru.
(LINTASTIMOR.ID | Suara dari Perbatasan untuk dunia
















