Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaHukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Keadilan di Balik Seragam Militer

59
×

Keadilan di Balik Seragam Militer

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

Tragedi Prada Lucky Namo dan Bayangan Reformasi Peradilan Militer

Oleh Redaksi Khusus – LINTASTIMOR MAGAZINE

Example 300x600

Di ruang sidang militer yang sepi di Kupang, udara terasa berat. Suara palu hakim terdengar sekali, menggetarkan dada keluarga yang duduk di barisan kursi kayu belakang. Di antara mereka, seorang ayah dengan mata sembab menatap lurus ke depan. Ia tak lagi mencari siapa pelaku, melainkan siapa yang berani berkata jujur.

“Kami hanya ingin kebenaran. Jangan biarkan seragam menjadi tameng untuk menutup nyawa anak saya,” ucap sang ayah dengan nada pelan namun menembus ruang sidang.

Kata-kata itu menggema lebih dalam daripada semua pasal yang dibacakan hari itu.

⚖️ Jejak Luka di Balik Disiplin

Prada Lucky Namo bukan nama yang asing di barak-barak TNI di NTT. Ia dikenal disiplin, ramah, dan patuh pada perintah. Namun, tubuh mudanya kini menjadi bukti bisu dari sistem yang masih menyisakan ruang gelap: ruang di mana “pendidikan militer” bisa berubah menjadi “pelanggaran kemanusiaan”.

Kematian Lucky bukan sekadar kehilangan bagi keluarga, tetapi ujian moral bagi sistem hukum militer itu sendiri.

Di persidangan, saksi-saksi berdatangan.
Saksi dari pihak Oditur Militer menggambarkan rentetan penganiayaan — perintah yang berujung pada kekerasan fisik berlebihan.
Namun, saksi yang dihadirkan oleh pengacara pelaku menuturkan kisah berbeda: latihan, disiplin, kesalahan kecil yang tidak disengaja.

Dua dunia hukum pun berhadapan.
Satu berbicara dari sisi keadilan, satu lagi dari sisi kepatuhan.

⚖️ Pertarungan Kebenaran dan Loyalitas

Dalam peradilan umum, saksi dihadirkan untuk mencari kebenaran.
Dalam peradilan militer, saksi kerap berjalan di atas tali antara kebenaran dan loyalitas komando.

“Militer itu bukan sekadar institusi, tapi keluarga besar dengan rantai komando yang sangat kuat. Kadang, kebenaran bisa tersesat di antara rasa takut dan rasa hormat,” ujar seorang purnawirawan hukum militer di Jayapura yang enggan disebut namanya.

Inilah tantangan utama.
Kebenaran faktual seringkali harus menunggu izin moral dari atasan untuk keluar ke ruang sidang.
Dan inilah mengapa keluarga Lucky menuntut Danyon dan dokter batalyon hadir.
Karena di tangan mereka, tersimpan dokumen, laporan, dan fakta medis yang dapat membuka tabir kematian itu.

Darah yang Tak Bisa Dihapus dengan Upacara

Dalam budaya militer, setiap kematian prajurit biasanya ditutup dengan penghormatan dan doa. Tapi bagi keluarga Lucky, penghormatan tanpa keadilan hanya luka yang diberi pita.

Ayahnya menatap foto anaknya setiap malam.

“Dia tidak mati di medan perang. Dia mati di antara orang yang seharusnya melindungi,” katanya getir.

Di luar gedung sidang, beberapa mahasiswa dan aktivis HAM menyalakan lilin. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Jangan biarkan hukum militer menjadi ruang sunyi bagi korban.”

⚖️ Catatan Hukum: Reformasi yang Tak Kunjung Tuntas

Hingga kini, reformasi peradilan militer di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah panjang.
Pasal 65 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI telah membuka peluang agar anggota militer yang melakukan tindak pidana umum dapat diadili di peradilan umum.
Namun, implementasinya belum sepenuhnya berjalan.

Kasus seperti kematian Prada Lucky seharusnya bisa menjadi momentum untuk meninjau ulang prinsip “lex specialis derogat lex generalis” — bahwa hukum militer boleh mengesampingkan hukum umum.
Tapi ketika menyangkut nyawa manusia, apakah keadilan bisa tetap dibatasi oleh seragam?

Dunia Melihat

Sebuah kutipan dari Jaksa Agung RI, Burhanuddin, kini ramai beredar di media sosial:

“Dunia melihat, tidak usah buat malu Indonesia.”

Kata-kata itu kini menjadi pengingat moral — bahwa keadilan yang ditunda adalah keadilan yang diingkari.
Keluarga Lucky, para prajurit muda, dan publik di perbatasan semua sedang menatap:
Apakah sistem ini berani membuka dirinya sendiri?

Akhir yang Belum Usai

Sidang masih berlanjut.
Namun yang pasti, kisah Lucky telah membuka kembali percakapan lama: tentang transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab moral di tubuh militer.

Dalam keheningan itu, suara ayahnya kembali terdengar lirih:

“Kami bukan melawan TNI. Kami hanya menagih kebenaran, agar seragam itu kembali menjadi kehormatan, bukan pelindung kesalahan.”

Catatan Redaksi:
LINTASTIMOR.ID dan Buserkota.com ini akan terus mengikuti proses sidang hingga putusan akhir dibacakan.
Karena bagi kami, tragedi Prada Lucky Namo bukan sekadar kasus hukum — ia adalah pembuka jalan bagi reformasi keadilan militer di Indonesia.

 

Example 300250