Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
Hukum & KriminalNasionalPeristiwaPolkam

Keadilan untuk Prada Lucky Namo: Ketika Hukuman Tak Setimpal dengan Luka Bangsa

10
×

Keadilan untuk Prada Lucky Namo: Ketika Hukuman Tak Setimpal dengan Luka Bangsa

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

Oleh: Agustinus Bobe, S.H., M.H.
Praktisi Hukum Militer

Example 300x600

Keadilan bukan sekadar vonis, tetapi nurani hukum yang hidup. Ancaman  hukuman sembilan tahun penjara bagi para terdakwa pembunuhan almarhum Prada Lucky Namo, prajurit TNI muda yang gugur secara tragis di Yonif teritorial pembangunan 834 Wakanga Mere Nagekeo , kembali menorehkan luka di hati publik—terutama keluarga besar TNI dan masyarakat perbatasan yang memandangnya sebagai anak bangsa yang gugur dalam tugas.

Apakah sembilan tahun cukup menebus hilangnya satu nyawa prajurit negara? Atau, justru kita tengah menyaksikan kemunduran moral dalam penegakan hukum militer yang sejatinya menuntut keteladanan dan keadilan seutuhnya?

TELADAN DAN PESAN DARI KASUS LUCKY NAMO

Prada Lucky Namo bukan sekadar korban. Ia simbol pengabdian tanpa pamrih. Di balik seragam hijaunya, ada idealisme dan loyalitas yang dibentuk oleh sumpah prajurit: setia kepada negara dan siap berkorban demi bangsa dan tanah air.
Namun, ironisnya, justru sesama prajuritlah yang mengantarnya pada ajal.

Tragedi ini seharusnya menjadi momentum refleksi besar di tubuh TNI, terutama dalam membangun kembali budaya disiplin, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama prajurit. Sebab, ketika pelaku dan korban sama-sama berada dalam satu institusi, maka yang tercoreng bukan sekadar individu, melainkan nama besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

ANALISIS HUKUM PIDANA MILITER: DI ANTARA KEADILAN DAN KETENTUAN FORMIL

Dalam perspektif hukum pidana militer, pembunuhan sesama anggota TNI diatur secara tegas dalam Pasal 103 ayat (1) KUHPM juncto Pasal 338 KUHP, yang mengatur tentang perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja.
Secara umum, ancaman pidana maksimalnya adalah 15 tahun penjara, dan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup, jika disertai unsur pemberatan (misalnya dilakukan dengan kekejaman atau terencana).

Namun, pada saatnya vonis sembilan tahun terhadap para terdakwa menimbulkan tanya besar: apakah unsur pemberatan tidak terpenuhi, ataukah ada pertimbangan yuridis lain yang meringankan?

Putusan yang lebih ringan ini bisa saja didasari pada pertimbangan:

  1. Tidak ada unsur perencanaan (delik spontanitas atau kekhilafan).
  2. Terdakwa bersikap kooperatif selama penyidikan.
  3. Adanya hubungan hierarki militer dan tekanan psikologis di dalamnya.

Akan tetapi, dalam paradigma justice for the victim, keadilan tidak berhenti pada pasal-pasal semata. Ia harus berdiri tegak di antara rasa kemanusiaan dan kepastian hukum. Hukuman ringan terhadap pelaku pembunuhan prajurit aktif dapat memunculkan preseden berbahaya: seolah nyawa seorang prajurit tak lebih berharga dari pelanggaran disiplin biasa.

PERSPEKTIF MORALITAS HUKUM MILITER

Hukum militer tidak hanya menuntut kepatuhan pada aturan, tetapi juga pada moralitas militer—disiplin, loyalitas, dan rasa tanggung jawab antar-kesatuan.
Ketika prajurit membunuh prajurit, maka sesungguhnya yang mati bukan hanya korban, melainkan juga kehormatan korps.

Dalam konteks ini, seharusnya hakim militer menjadikan kasus Lucky Namo sebagai teladan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan, agar tidak terulang tindakan kekerasan internal yang mencoreng nama baik institusi TNI.
Ancaman hukuman yang terlalu ringan justru dapat menggerus wibawa sistem peradilan militer di mata publik.

MENGHIDUPKAN KEMBALI SPIRIT KEADILAN

Keadilan substantif harus selalu menjadi arah utama penegakan hukum militer. Pasal dan peraturan hanyalah kerangka; yang menghidupkannya adalah nurani hukum.

Keluarga almarhum Prada Lucky Namo telah bersuara lantang meminta hukuman berat, bahkan hukuman mati, bagi para pelaku. Teriakan itu bukan dendam—melainkan panggilan hati agar negara menghargai darah prajuritnya sendiri.
Dan ketika keadilan tidak berpihak kepada yang gugur, maka sesungguhnya bangsa sedang kehilangan rasa malu.

EPILOG: MENEGAKKAN HUKUM, MENEGAKKAN MARTABAT

Kasus Prada Lucky Namo akan tercatat dalam sejarah hukum militer Indonesia sebagai ujian moralitas penegak hukum berseragam.
Bukan seberapa cepat perkara disidangkan, melainkan seberapa dalam hukum bisa menyentuh rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas.

Hukuman sembilan tahun hanyalah angka. Tapi di balik angka itu, ada jerit seorang ibu, ada luka korps, dan ada tanda tanya besar bagi generasi muda TNI: apakah keadilan masih punya arti di barak sendiri?

Tentang Penulis:
Agustinus Bobe, S.H., M.H., adalah praktisi hukum militer dan pemerhati keadilan perbatasan. Tulisan-tulisannya kerap menyoroti etika militer, disiplin prajurit, dan reformasi hukum di lingkungan TNI.


 

Example 300250
Penulis: Agust BobeEditor: Agustinus Bobe