SINGAPURA, [LINTASTIMOR.ID] – Suara dari Perbatasan untuk Dunia.
Di sudut kamar kecil sebuah apartemen di Singapura, di antara tumpukan buku hukum dan seragam kerja, seorang perempuan muda tersenyum lirih menatap layar laptopnya. Di sana, tertera nama yang kini membuatnya bangga: Rita Uru Hida, S.H.
Siapa sangka, perempuan yang dulu berangkat dari kampung Tanarara, Kecamatan Matawai La Pau, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia , dengan visa kerja sebagai asisten rumah tangga, kini menyandang gelar Sarjana Hukum dari Universitas Terbuka Layanan Luar Negeri.
“Dulu saya hanya ingin bantu keluarga. Tapi Tuhan ternyata punya rencana yang lebih indah,” ujar Rita pelan, matanya berkaca-kaca.
Rita bukan lahir dari keluarga berada. Ia menamatkan pendidikan dasar di SDM Anduwatu (lulus 2003), lalu lanjut ke SMP Negeri 1 Rindi Umalulu (lulus 2007), dan SMA Negeri 2 Waingapu (lulus 2009).
Setelah SMA, ia sempat kuliah di STIE Sumba Timur (kini UNWINA), namun berhenti karena tak ingin membebani orang tuanya yang juga harus membiayai kakaknya.
“Saya tahu Bapak tidak sanggup, jadi saya berhenti. Dari situ saya sadar, kalau mau sekolah tinggi, saya harus kerja dulu,” kenangnya.
Ia kemudian merantau ke Bali selama tiga tahun, bekerja serabutan. Saat pulang, ia sempat mengajar PAUD sambil kuliah jarak jauh di Universitas Terbuka jurusan PG-PAUD. Namun lagi-lagi, kuliahnya terhenti karena biaya.
“Saya sempat kirim SMS ke Bapak dari kamar, bilang mau ke luar negeri. Saya tidak berani bicara langsung. Waktu itu Bapak cuma diam. Tapi diamnya Bapak itu… saya tahu, penuh doa,” tutur Rita dengan senyum sendu.
Berbekal tekad dan doa, ia berangkat lewat sponsor menuju Singapura. Namun nasib membawanya tersesat ke Malaysia, bukan ke negeri yang dijanjikan. Di Malaysia, ia bekerja tanpa telepon genggam, tanpa komunikasi dengan keluarga. Tiga bulan sebelum kontraknya habis, ia memutuskan pulang.
Tanggal 20 Desember 2017, Rita kembali ke Indonesia. Tapi bukan untuk menyerah. Ia langsung mencari agensi baru di Bali, dan kali ini benar-benar berhasil berangkat ke Singapura pada 11 Januari 2018.
“Bos agensi kaget karena saya datang sendirian dari Bali, lewat Surabaya. Katanya, ‘You are very brave girl.’ Saat itu saya cuma jawab dalam hati, saya bukan berani… saya terpaksa untuk hidup,” katanya lirih.
Di Singapura, Rita bekerja dengan majikan yang baik. Ia diberi laptop dan diizinkan belajar bahasa Inggris di waktu senggang. Ia aktif di gereja sebagai usher, dan mengisi hari libur dengan berbagai kursus — mulai dari bisnis, keuangan, hingga kelas tata rias.
Desember 2019, ketika mendapat cuti, Rita memutuskan untuk mendaftar kuliah. Ia menghubungi kakak iparnya di Sumba yang membantu melegalisir ijazah. Awalnya, ia mengambil jurusan Sastra Inggris bidang Penerjemah, tapi merasa tidak cocok.
“Sejak SMA, kalau pelajaran bahasa Inggris, saya malah sering ke kantin,” ujarnya sambil tertawa. “Mungkin karena saya memilih tanpa tanya Tuhan waktu itu.”
Tahun 2021, ia mendaftar ulang dengan jurusan baru: Ilmu Hukum. Kali ini, ia tidak melangkah sendiri. Ia meminta dukungan doa dari dua ibu rohani, Mama Ina dan Ibu Miati.
“Saya bilang, kalau ini seizin Tuhan, pasti semua dimudahkan. Dan benar, nilai pertama saya A dan B. Itu tanda bahwa saya di jalan yang benar,” ucapnya penuh syukur.
Namun perjalanan tidak selalu mulus. Di sela-sela kerja, cibiran datang dari sesama pekerja migran.
“Ada yang bilang, ‘Mana ada visa kuliah, yang ada visa babu. Sok mau kuliah, padahal cuma kursus,’” kenang Rita, suaranya bergetar. “Saya sedih, tapi itu jadi bahan bakar saya untuk terus belajar. Kalau benar saya cuma babu, masa saya bisa edit nilai sendiri?” ujarnya tersenyum getir.
Tujuh semester ia jalani dengan kerja keras, di antara pekerjaan rumah majikan, kursus, dan pelayanan gereja. Hasilnya, gelar Sarjana Hukum dengan IPK 2,79.
Kini, di negeri orang, Rita bukan lagi sekadar pekerja rumah tangga. Ia adalah simbol harapan — perempuan Sumba yang melangkah dari batas keterbatasan menuju ruang kebanggaan.
“Saya tidak malu bilang saya babu,” katanya dengan tegas. “Karena dari situ Tuhan mulai angkat saya. Saya belajar, bekerja, dan membuktikan bahwa Tuhan bisa ubah siapa pun yang mau berjuang.”
Di sela kesibukan bekerja, Rita kini menjadi inspirasi bagi banyak TKW di Singapura. Ia sering berbagi semangat kepada sesama pekerja migran agar berani bermimpi dan berpendidikan.
Baginya, gelar sarjana bukan akhir, melainkan awal untuk melayani lebih banyak orang,” kisah Rita kepada Redaksi Lintastimor.id via Video Call , Minggu (19/10/2025) pagi.
“Saya ingin bantu orang-orang seperti saya dulu. Yang takut bermimpi karena merasa tidak mampu,” ucapnya lembut.
Dari Tanarara ke Singapura, dari peluh dapur ke ruang kuliah virtual, kisah Rita Uru Hida adalah sebuah puisi tentang keberanian dan kasih Tuhan yang bekerja dalam diam.
Dan dari perbatasan dunia, suara lembutnya menyapa generasi muda Indonesia:
“Jangan pernah remehkan diri sendiri. Kadang Tuhan menyembunyikan berkat terbesar di balik pekerjaan yang paling rendah.”