JAKARTA, [LINTASTIMOR.ID] — Suara rakyat dari Perbatasan, cari keadilan untuk negeri
Di sebuah rumah sederhana di ujung timur negeri ini, seorang ayah duduk menatap foto anaknya yang gugur dalam seragam. Matanya redup, suaranya parau, namun hatinya tetap tegas. Ia bukan lagi hanya berbicara untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh rakyat yang percaya bahwa keadilan tidak boleh dibungkam.
Namanya Pelda Chrestian Namo, ayah dari almarhum Prada Lucky Namo — prajurit muda TNI AD yang meninggal dalam peristiwa tragis di lingkungan dinasnya sendiri. Melalui surat terbuka yang dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, ia menumpahkan kegelisahan, luka, dan harapan yang belum juga terjawab setelah lebih dari dua bulan berlalu.
“Sudah 63 hari anak kami meninggal, namun hingga kini belum ada sidang, belum ada kejelasan. Padahal Pangdam IX/Udayana sudah menyatakan 20 tersangka, dan akan diproses secara terbuka untuk umum. Tapi janji itu menguap begitu saja. Kami tidak pernah menerima kabar resmi apa pun,” tulis Pelda Chrestian dalam suratnya yang menggetarkan nurani.
Ia menuturkan bahwa keluarga korban bukan hanya menghadapi duka, tetapi juga ujian moral dan tekanan batin. Ada upaya untuk “membungkam” dengan iming-iming uang damai, bahkan dengan cara yang mencederai martabat keluarga prajurit yang sedang berduka.
“Ada yang datang membawa surat pernyataan perdamaian dan uang Rp10 juta per pelaku. Mereka minta kami menandatangani agar kasus dianggap selesai. Bahkan, ada yang mencoba mengadu domba kami, ayah dan ibu korban, agar kami terpecah dan kehilangan arah,” ungkapnya dalam surat tersebut.
Namun, ayah itu tidak goyah. Ia menulis dengan penuh keyakinan bahwa Presiden Prabowo Subianto, seorang mantan prajurit yang tahu makna kehormatan seragam, akan mendengar dan bertindak.
“Kami percaya, di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto — seorang prajurit sejati — keadilan dan kehormatan TNI akan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kami hanya menuntut agar kasus anak kami diadili secara terbuka, dan para pelaku dipecat serta dijatuhi hukuman seberat-beratnya, termasuk hukuman mati jika layak,” tulisnya penuh ketegasan dan doa.
Surat itu bukan sekadar permohonan, melainkan jeritan nurani seorang ayah yang kehilangan anak dalam pangkuan institusi yang seharusnya melindungi. Ia tidak menyalahkan tentara, ia tidak menista negara — ia hanya meminta keadilan berjalan, seterang matahari pagi di atas nisan sang anak.
Kini, setelah 63 hari berlalu, rakyat ikut menunggu. Apakah suara dari perbatasan itu akan sampai ke Istana?
Apakah nama Prada Lucky Namo akan dikenang sebagai prajurit muda yang gugur sia-sia, atau sebagai simbol kebangkitan nurani hukum militer Indonesia?
Di tengah sunyi perbatasan, seorang ayah masih berdoa — agar keadilan tidak hanya turun bagi yang berkuasa, tapi juga bagi yang berduka.
✍️ LINTASTIMOR.ID — Suara rakyat dari Perbatasan, cari keadilan untuk negeri