“Nyawa yang dirampas secara sadar itu perkara umat manusia sejagat raya ini. Dalam pengusutan tidak boleh main-main dan ditutup-tutupi.” — Akhmad Bumi, S.H
LINTASTIMOR.ID | — KUPANG.
Sembilan minggu sudah berlalu sejak tewasnya Prada Lucky Chepril Saputra Namo, prajurit muda TNI yang meregang nyawa di tangan rekan-rekannya sendiri. Namun hingga kini, berkas perkara 22 tersangka belum juga dilimpahkan ke Pengadilan Militer Kupang. Waktu penahanan kian menipis, dan keluarga korban masih menunggu janji transparansi yang pernah diucap Pangdam IX/Udayana, Mayor Jenderal Piek Budyakto.
Akhmad Bumi, SH — Ketua Tim Kuasa Hukum keluarga almarhum dari Firma Hukum ABP — menegaskan bahwa lambatnya pelimpahan berkas menimbulkan tanda tanya besar.
“Informasi yang kami peroleh, berkas 22 tersangka belum dilimpahkan oleh Oditurat Militer ke pengadilan. Mungkin berkasnya belum lengkap, belum P21. Tapi yang pasti, masa penahanan 60 hari segera habis. Mereka ditahan sejak Agustus 2025,” ungkapnya di Kupang, Sabtu (4/10/2025).
Luka yang Belum Kering
Keluarga masih menanti daftar 22 nama tersangka, sebagaimana janji Pangdam IX/Udayana. Mereka ingin tahu siapa saja yang ikut dalam pembantaian di Yonif Teritorial Pembangunan/834 Waka Nga Mere, Nagekeo, NTT — barak tempat Prada Lucky disiksa berkali-kali sebelum menghembuskan napas terakhir di RSUD Aeramo pada 6 Agustus 2025.
Dalam dokumen Ringkasan Keluar RSUD Aeramo, disebutkan korban datang dalam keadaan sadar namun lemas, mengeluh nyeri dada dan perut setelah “jatuh dari bukit”. Penjelasan itu, menurut Akhmad Bumi, sangat janggal.
“Keterangan jatuh dari bukit tidak sesuai dengan kondisi fisik korban yang penuh luka akibat penyiksaan. Diagnosis primer dan sekunder rumah sakit pun menunjukkan hal yang berbeda,” tegasnya.
Ia menilai, autopsi harus segera dilakukan agar “luka-luka korban bisa berbicara melalui forensik”.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Akhmad juga menyoroti peran Komandan Batalion 834/WM. Ia menilai, sebagai penanggung jawab komando, Danyon tak bisa lepas tangan.
“Apa benar Danyon membiarkan prajuritnya membantai sesama? Informasi yang kami terima, penyiksaan terhadap Lucky terjadi lebih dari satu hari. Itu pembiaran,” katanya keras.
Ironisnya, saat keluarga masih berduka, sang Danyon disebut datang ke rumah oma korban di Kupang — bukan untuk berbelasungkawa, melainkan menawarkan damai dan ampunan bagi 22 pelaku dengan iming-iming sejumlah uang.
“Membiarkan korban tersiksa hingga meninggal dunia itu pidana. Mereka melakukannya berkali-kali, dan tetap sadar atas tindakannya. Ini bukan perkara kecil — ini soal kemanusiaan universal,” ujar Akhmad Bumi bergetar menahan emosi.
Keadilan, Bukan Uang
Kedua orang tua mendiang, Chrestian Namo dan Sepriana Paulina Mirpey, menolak tegas tawaran damai. Mereka datang ke kantor kuasa hukum malam-malam, berpegangan tangan, menandatangani surat pernyataan: mereka hanya ingin keadilan, bukan kompensasi.
“Mereka sadar bahwa anak mereka tak akan kembali. Tapi mereka sepakat tidak akan terhasut, tidak akan diadu domba,” tutur Akhmad lirih.
Di tengah kabar miring dan pesan berantai yang mencoba memecah keluarga, pasangan itu tetap berdiri teguh. Air mata mereka mungkin telah kering, tapi tekad mereka belum padam.
“Mereka tahu sedang diadu domba, tapi tetap bersatu. Mereka hanya ingin satu hal: keadilan untuk Prada Lucky,” tutup Akhmad Bumi.
LINTASTIMOR.ID – Menyuarakan Kebenaran dan keadilan
BUSERKOTA.COM – Tegas, Tajam, Terpercaya ungkap fakta hukum dan kriminal