ATAMBUA |LINTASTIMOR.ID–
Di jantung kota Atambua, tepatnya di Kelurahan Fatukbot, suara keresahan warga menggema. Jalan Tuan Bakel Motabuik menuju SDI Nufuak dan Motabuik–Asuulun yang semestinya menjadi urat nadi kehidupan, kini menjelma menjadi luka terbuka di tubuh kota perbatasan.
Lubang-lubang menganga, bagaikan perangkap maut yang saban hari siap menelan korban. Mobilitas kendaraan tersendat, langkah manusia terhambat. Jalan yang mestinya melancarkan perjalanan, kini justru melahirkan rasa takut dan was-was.
“Kami sudah terlalu lama menunggu. Setiap Musrenbang, jalan ini selalu dibicarakan, tapi hasilnya tetap nihil. Pemerintah seolah tuli terhadap jeritan kami,” kata Robert Ndai, warga RT Fatukbot, menahan getir.
Bagi warga Fatukbot, jalan ini bukan sekadar tanah beraspal. Di atasnya, hasil kebun berupa sayur-mayur berpacu menuju pasar.
Dari jalur ini pula, produksi batu bata—tulang punggung ekonomi keluarga kecil—diangkut. Anak-anak berangkat ke sekolah, tenaga kesehatan menuju puskesmas, pegawai ke kantor camat. Semua bergantung pada satu urat nadi yang kini sekarat.
Atambua adalah kota perbatasan yang menjadi wajah depan Indonesia di mata dunia, terutama Timor Leste. Namun, wajah itu kini tercoreng. Tamu dari luar daerah akan melihat bukan kemegahan, melainkan jalan rusak yang mencerminkan kurangnya kepedulian pemerintah daerah.
“Kalau dibiarkan, cepat atau lambat akan ada kecelakaan. Jangan tunggu ada korban baru pemerintah bergerak,” imbuh Robert dengan suara tegas.
Lintastimor mencatat, jalan ini adalah simbol. Simbol apakah pemerintah benar-benar hadir untuk rakyat di beranda timur negeri, atau justru membiarkan mereka berjalan sendiri di atas jalan penuh lubang. Suara dari Fatukbot adalah suara perbatasan yang menuntut jawaban.